Gangguan Kecemasan (Phobia)

Posted on Sabtu, 27 Oktober 2012 by Unknown


A.   Definisi Kecemasan, Ketakutan, dan Panik
Anxiety (kecemasan) adalah keadaan suasana-perasaan yang ditandai oleh gejala-gejala jasmaniah seperti ketegangan fisik dan kekhawatiran tentang masa depan. Pada manusia, kecemasan bisa jadi berupa perasaan gelisah yang bersifat subjektif, sejumlah perilaku atau respon fisiologis yang bersumber di otak dan tercermin dalm bentuk denyut jantung yang meningkat dan otot yang menegang. Di sisi lain, kecemasan juga menguntungkan bagi manusia, setidaknya dalam jumlah yang sedang-sedang saja. Sejak hamper satu abad silam para pakar psikologi telah tahu bahwa kita dapat bekerja dengan lebih baik jika kita merasa sedikit cemas.
Kita tidak akan sukses dalam mengerjakan ujian jika kita tidak merasa cemas sama sekali. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah keadaan suasana hati yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah di mana seseorang mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan di masa yang akan datang dengan perasaan khawatir.
Fear (ketakutan) adalah alarm reaction (reaksi alarm) segera atau langsung terhadap bahaya. Seperti kecemasan, ketakutan juga ada baiknya untuk kita. Ketakutan melindungi kita denga mengaktifkan respon massif  dari system saraf otonom (denyut jantung dan tekanan darah yang meningkat), yang bersama perasaan terteror subjektif kita, mendorong kita untuk lari, atau mungkin menyerang balik (fight). Sehingga fear atau ketakutan dapat didefinisikan sebagai sebuah respons emosional yang berupa reaksi siaga langsung terhadap kemunculan bahaya atau keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa. Sedangkan panic didefenisikan sebagai pengalaman ketakutan intens yang dating seketika, atau perasaan tidak nyaman yang akut yang disertai oleh gejala-gejala fisik yang biasanya melibatkan degup jantung yang kencang, nyeri di bagian dada, napas yang tersengal-sengal. Ada tiga macam setangan panic dasar yang dideskirpsikan dalam DSM-IV, yaitu serangan yang terkait dengan situasi, serangan yang tidak terduga, dan serangan yang terdisposisi secara situsional.




B.   Penyebab Kecemasan
1.    Kontribusi Biologis
Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa kita mewarisi kecenderungan untuk tegang dan gelisah. Kecemasan berhubungan dengan sirkuit otak dan system neurotransmitter tertentu. Beberapa tahun terakhir semakin banyak perhatian yang difokuskan pada peran sistem corticotropin releasing factor (CRF) yang sangat penting untuk ekspresi kecemasan dan depresi. Ini disebabkan karena CRF mengaktifkan aksis-HPA, yang emrupakan bagian system CRF dan system CRF ini memiliki efek yang luas pada wilayah-wilayah otak yang terimplikasi dalam kecemasan-kecemasan termasuk otak-emosional (system limbic), terutama hipokampus dan amigdala, lokus sereleus dalam batang otak, korteks prefrontal, dan system neurotransmitter dopamonergik. Daerah otak yang sering berhubungan dengan kecemasan adalah system limbic. Yang bertindak sebagai mediator antara batang otak dan korteks.
2.    Kontribusi Psikologis
Para pakar teori perilaku melihat kecemasan sebagai produk pengkondisian klasik awal, modeling, dan bentuk-bentuk belajar lainnya. Semakin banyak bukti yang mendukung model integrasi tentang kecemasan yang melibatkan beraneka macam factor. Di masa anak-anak kita mungkin memperoleh kesadaran bahwa tidak mungkin memperoleh kesadaran bahwa tidak semua kejadian dapat kita kontrol. Persepsi bahwa berbagai kejadian mungkin tidak dapat kita kontrol ini paling tampak nyata dalam bentuk keyakinan-keyakinan yang dipenuhi bahaya. Contohnya bila kita mencemaskan prestasi kita di sekolah, kita mungkin akan berpikir bahwa kita tidak akan berhasil dalam ujian yang akan dating. Kita juga mungkin berpikir bahwa tidak ada cara untuk bisa lulus dalam mata kuliah yang dimaksud, meskipun semua nilai selama ini selalu A atau B.
Di bawah ini gejala-gejala yang ditunjukkan apabila seseorang terserang serangan panik:
·         Jantung berdebar kencang
·         Keringat bercucuran
·         Gemetar atau mengigil
·         Napas pendek-pendek
·         Perasaan tercekik
·         Nyeri di bagian dada
·         Mual
·         Pusing
·         Perasaan tidak nyata
·         Takut kehilangan control
·         Takut mati
·         Mati rasa
·         Panas dingin
Kebanyakan pembicaraan psikologis mengenai panic memunculkan penjelasan tentang conditioning dan cognitive yang satu sama lain sulit dipisahkan. Jadi respon ketakutan yang kuat  pada awalnya muncul selama keadaan stress ekstrem atau sebagai akibat adanya situasi berbahaya di lingkungan. Respon emosional ini kemudian diasosiasikan dengan sejumlah stimulus eksternal dan internal.
3.    Kontribusi Sosial
Peristiwa yang menimbulkan stress memicu kerentanan kita terhadap kecemasan. Sebagian besar bersifat pribadi  yaitu perkawinan, pereraian, masalah di tempat kerja, kematian orang yang dicintai, dan sebagainya. Sebagian lainnya bersifat fisik, seperti cedera atau penyakit. Tekanan social, sperti tekanan untuk menjadi juara sekolah, dapat juga menimbulkan stres yang cukup kuat untuk memicu kecemasan. Stresor yang sama dapat memicu reaksi-reaksi fisik seperti sakit kepala atau hipertensi serta reaksi-reaksi emosional seperti misalnya serangan panik. Cara khas yang kita gunakan untuk memberikan reaksi terhadap stress tampaknya juga dapat ditemukan dalam keluarga kita.
4.    Model Integratif
Terdapat tiga bentuk kerentanan yang memberikan kontribusi pada perkembangan berbagai gangguan kecemasan:
·         Kerentanan biologis menyeluruh (generalized biological vulnerability). Kecenderungan untuk gelisah atau tegang itu yampaknya diturunkan atau diwariskan. Tetapi, kerentanan biologis menyeluruh untuk mengalami kecemasan bukanlah kecemasan itu sendiri. 
·         Kerentanan psikologis menyeluruh (generalized psychological vulnerability). Artinya,berdasarkan pengalaman awal, kita mungkin tumbuh dewasa dengan disertai keyakinan bahwa dunia ini berbahaya dan di luar control. Dan kita tidak mampu mengatasi bila ada hal buruk yang menimpa kita.
·         Kerentanan psikologis spesifik (specific psychology vulnerability). Dimana manusia belajar dari pengalaman awal, misalnya dari apa yang diajarkan oleh orang tua, bahwa situasi atau objek tertentu berbahaya (meskipun sebenarnya tidak). Contohnya apabila ayah takut anjing, maka anak juga akan takut pada anjing karena beranggapan bahwa anjing adalah sesuatu yang berbahaya.

C.   Fobia Khas
1.    Definisi Klinis
Fobia khas (spesific fobia) adalah ketakutan irasional terhadap suatu objek atau situasi tertentu yang dengan jelas mengganggu kemampuan individu untuk menjalankan fungsinya. Fobia ini merupakan bagian dari gangguan kecemasan karena orang yang mengalami fobia merasa kecemasan berlebih pada sesuatu hal tertentu. Banyak orang yang secara rasional takut pada hal yang sebenarnya tidak membahayakan, seperti takut ke dokter gigi. Untuk alasan inilah sampai tingkat tertentu kebanyakan orang dapat diidentifikasi memiliki fobia terhadap hal tertentu.
Ternyata ragam fobia sama banyaknya dengan banyaknya benda dari situasi yang ada di dalam dunia ini. Berdasarkan “List of Fobias”, oleh J.D. Maser, tercatat ada 25 jenis fobia yang dimulai dari huruf A. Hal ini hanyalah sebagian dari daftar panjang dan masih banyak lagi jenis fobia yang diklasifikasikan. Secara umum, ada lima subtipe fobia khas yaitu fobia terhadap binatang, lingkungan alam (ketinggian, badai, dan air), darah-suntikan/injeksi-luka, situasional (kapal terbang, lift, atau tempat tertutup), dan “lain-lain” (misalnya, situasi yang dapat mengakibatkan timbulnya perasaan tercekik, muntah, atau mengidap/tertular penyakit tertentu; atau pada anak-anak, perilaku menghindari suara-suara keras atau orang yang mengenakan kostum yang menggambarkan tokoh tertentu).
Blood-Injury-Injection Fobia adalah ketakutan dan sikap menghindar yang tidak masuk akal ketika melihat darah, luka, atau kemungkinan menerima suntikan. Korban sering mengalami pingsan dan tekanan darah anjlok.  Situasional Fobia adalah ketakutan terhadap tempat-tempat tertutup (misalnya, klaustrofobia) atau alat transportasi umum (misalnya, takut naik pesawat). Natural Enviroment Fobia adalah ketakutan terhadap situasi atau kejadian yang terdapat di alam, terutama ketinggian, badai, dan air. Animal Fobia adalah ketakutan terhadap binatang yang biasanya mulai berkembang sejak usia dini. Separation Anxiety Fobia adalah kecemasan eksesif dan persisten pada anak-anak, bahwa sesuatu yang buruk akan menimpa diri mereka sendiri atau orangtuanya selama mereka berpisah.
2.    Penyebab
Fobia bisa diperoleh dari melalui pengalaman langsung yang traumatik, dimana keadaan bahaya atau sakitnya riil dan menghasilkan respon terhadap adanya bahaya (alarm yang sebenarnya). Ini salah satu cara untuk mengembangkan fobia. Ada tiga cara lainnya untuk mengalami fobia, yaitu: mengalami alarm palsu (serangan panik) dalam situasi tertentu, melihat orang lain mengalami ketakutan yang berat (pengalaman ketakutan yang dialami orang lain), atau diberi tahu tentang adanya bahaya dalam keadaan yang tepat (yang mendukung perkembangan fobia).

D.   Fobia Sosial
1.    Definisi Klinis
Fobia sosial (social fobia) adalah ketakutan dan  perilaku menghindar yang ekstrem, menetap, dan irasional terhadap situasi-situasi sosial atau yang melibatkan performa. Tipe fobia yang paling sering dijumpai, yang dialami oleh sebagian besar orang, adalah ketakutan untuk berbicara di depan umum. Situasi lain yang lazim ditakuti adalah makan di restoran, menandatangani surat di depan petugas; atau untuk laki-laki, buang air kecil di toilet umum (ini dikenal dengan istilah “bashful bladder”). Kesamaan yang terdapat dalam contoh-contoh ini adalah individu harus melakukan sesuatu di depan orang-orang yang menonton dan sampai tingkat tertentu, menilai penampilannya. Ini merupakan fobia sosial, karena orang tidak memiliki masalah dengan makan, menulis, atau buang air kecil di tempat tertutup. Hanya jika ada orang lain yang melihat, perilaku tersebut menjadi terganggu.
2.    Penyebab
Ada tiga jalur fobia sosial. Pertama, seseorang mewarisi kerentanan biologis menyeluruh untuk mengembangkan kecemasan dan/atau kecenderungan biologis untuk menjadi terhambat secar sosial. Eksistensi kerentanan psikologis menyeleruh seperti tercermin pada perasaan bahwa berbagai peristiwa, khususnya peristiwa yang sangat menimbulkan stres, mungkin tidak dapat dikontrol dan dengan demikian akan mempertinggi kerentanan individu. Ketika mengalami stres, kecemasan dan perhatian yang difokuskan pada diri sendiri dapat meningkat sampai titik yang mengganggu kinerja, bahkan tanpa disertai oleh adanya alarm (serangan panik). Kedua, ketika dalam keadaan stres, seseorang mungkin mengalami serangan panik yang tak terduga (alarm palsu) pada sebuah situasi sosial yang selanjutnya akan dikaitkan (dikondisikan) dengan stimulus-stimulus sosial. Individu kemudian akan menjadi sangat cemas tentang kemungkinan untuk mengalami alarm (serangan panik) lain (yang dipelajari) ketika berada dalam situasi-situasi sosial yang sama atau mirip. Ketiga, seseorang mungkin mengalami trauma sosial riil yang menimbulka alarm aktual. Kecemasan lalu berkembang (terkondisi) di dalam situasi-situasi sosial yang sama atau mirip. Tetapi harus ada satu faktor lagi untuk dapat memenuhi kriteria gangguan kecemasan sosial. Individu dengan kerentanan dan pengalaman seperti yang dijelaskan di atas juga sudah harus belajar bahwa evaluasi sosial bisa berbahaya.




E.   Contoh Kasus Fobia dan Cara Mengatasinya
Andri adalah murid salah satu sekolah dasar di Semarang, ia memiliki masalah ketidakmampuan menjalin hubungan sosial yang baik dengan teman sebayanya dikarenakan terlalu banyak bermain game online. Semakin berjalannya waktu dan ketidakmampuan Andri untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, masalah Andri ini menjadi meluas. Tidak hanya dengan teman-teman sebayanya tetapi juga dengan guru-guru pengajar. Yang menjadi perhatian adalah ketika Andri berbicara dengan orang lain. Tidak terfokus dengan lawan bicara, hanya tersenyum-senyum sambil menggerakkan kepalanya dengan hitungan patah-patah seperti boneka kayu yang kaku dan pandangan kosong lurus ke depan. Hitungan fokus untuk menatap lawan bicara hanya kurang dari 6 detik dan fokus pada topik pembicaraan hanya kurang dari 9 detik. Pola seperti ini, terulang terus menerus ketika Andri dihadapkan pada situasi yang mengharuskan dia untuk berkomunikasi dengan dua orang atau lebih.
Pola yang terulang terus-menerus setiap kali berbicara dengan Andri, membuat teman-teman sekelasnya menjauhi Andri. Bahkan ada seorang guru yang membentak Andri dengan menggunakan kata “gendeng dan autis.” Masalah baru muncul. Andri tidak hadir di sekolah sampai hampir 1 minggu. Menurut pengakuan ibunya, setiap disuruh berangkat ke sekolah, badan Andri mendadak panas dan kakinya dingin yang disertai dengan diare. Empat surat izin tidak masuk karena sakit dari orang tua Andri, terdapat di atas meja kerja guru. Tiga kali diperiksakan ke dokter oleh orang tuanya, tidak diketahui adanya penyakit berbahaya. Menurut analisa dokter, sakitnya Andri dikarenakan Andri mengalami stres berat dan ketakutan akan sesuatu. Kepada ibunya, Andri bercerita kalau dia takut berhadapan dengan guru yang mengatakan dia “gendeng dan autis”. Sehingga membuat dia takut berangkat ke sekolah.
Gejala yang dialami oleh Andri, menunjukkan bahwa Andri terserang Fobia Sekolah (Scolionofobia). Menurut Jacinta F. Rini, fobia sekolah adalah bentuk kecemasan yang tinggi terhadap sekolah yang biasanya disertai dengan berbagai keluhan yang tidak pernah muncul atau pun hilang ketika “masa keberangkatan” sudah lewat atau pada hari Minggu atau hari libur. Fobia sekolah dapat sewaktu-waktu dialami oleh setiap anak hingga usianya 14-15 tahun, saat dirinya mulai bersekolah di sekolah baru atau menghadapi lingkungan baru atau pun ketika ia menghadapi suatu pengalandri yang tidak menyenangkan di sekolah.

Ø  Cara Mengatasi
a.    Terapi berbicara.
Perawatan ini seringkali efektif untuk mengatasi berbagai fobia. Jenis terapi bicara yang bisa digunakan adalah:
1.    Konseling: konselor biasanya akan mendengarkan permasalahan seseorang, seperti ketakutannya saat berhadapan dengan barang atau situasi yang membuatnya cemas. Setelah itu konselor akan memberikan cara untuk mengatasinya.
2.    Psikoterapi: seorang psikoterapis akan menggunakan pendekatan secara mendalam untuk menemukan penyebabnya dan memberi saran bagaimana cara-cara yang bisa dilakukan untuk mengatasinya.
3.    Terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavioural Therapy/CBT): yaitu suatu konseling yang akan menggali pikiran, perasaan dan perilaku seseorang dalam rangka mengembangkan cara-cara praktif yang efektif untuk melawan fobia.

b.    Terapi pemaparan diri (Desensitisation).
Orang yang mengalami fobia sederhana bisa diobati dengan menggunakan bentuk terapi perilaku yang dikenal dengan terapi pemaparan diri. Terapi ini dilakukan secara bertahap selama periode waktu tertentu dengan melibatkan objek atau situasi yang membuatnya takut. Secara perlahan-lahan seseorang akan mulai merasa tidak cemas atau takut lagi terhadap hal tersebut. Kadang-kadang dikombinasikan dengan pengobatan dan terapi perilaku.

c.    Menggunakan obat-obatan.
Penggunaan obat sebenarnya tidak dianjurkan untuk mengatasi fobia, karena biasanya dengan terapi bicara saja sudah cukup berhasil. Namun, obat-obatan ini dipergunakan untuk mengatasi efek dari fobia seperti cemas yang berlebihan.
Terdapat 3 jenis obat yang direkomendasikan untuk mengatasi kecemasan, yaitu:
1.    Antidepresan: obat ini sering diresepkan untuk mengurangi rasa cemas, penggunaannya dizinkan untuk mengatasi fobia yang berhubungan dengan sosial (social fobia).
2.    Obat penenang: biasanya menggunakan obat yang mengandung turunan benzodiazepines. Obat ini bisa digunakan untuk mengatasi kecemasan yang parah, tapi dosis yang digunakan harus serendah mungkin dan penggunaannya sesingkat mungkin yaitu maksimal 4 minggu. Ini dikarenakan obat tersebut berhubungan efek ketergantungan.
3.    Beta-blocker: obat ini biasanya digunakan untuk mengobati masalah yang berhubungan dengan kardiovaskular, seperti masalah jantung dan tekanan darah tinggi (hipertensi). Karena berguna untuk mengurangi kecemasan yang disertai detak jantung tak beraturan

F.    Pembahasan Scolionofobia (Fobia Sekolah)
1.    Scolionofobia dan Tingkatanya pada Anak
Fobia sekolah adalah bentuk kecemasan dan penolakan yang tinggi terhadap sekolah yang biasanya disertai dengan berbagai keluhan yang tidak pernah muncul pada saat anak memasuki masa sekolah. Terdapat 4 tingkatan dalam fobia sekolah yaitu:
a.    Initial school refusal behavior, yaitu sikap menolak sekolah yang berlangsung dalam waktu yang sangat singkat (seketika/tiba-tiba).
b.    Substantial school refusal behavior, yaitu sikap penolakan yang berlangsung selama minimal 2 minggu.
c.    Acute school refusal behavior, yaitu sikap penolakan yang bisa berlangsung 2 minggu hingga 1 tahun, dan selama itu anak mengalami masalah setiap kali hendakberangkat sekolah
d.    Chronic school refusal behavior, yaitu sikap penolakan yang berlangsung lebih dari setahun, bahkan mungkin berlanjut selama anak tersebut bersekolah di tempat itu.


2.    Tanda-tanda Fobia Sekolah
Ada beberapa tanda yang dapat dijadikan sebagai kriteria fobia sekolah atau pun school refusal, yaitu:
a.    Menolak untuk berangkat ke sekolah.
b.    Mau datang ke sekolah, tetapi tidak lama kemudian minta pulang
c.    Pergi ke sekolah dengan menangis, menempel terus dengan ibu/ayahnya atau pengasuhnya, atau menunjukkan “tantrum”nya seperti menjerit-jerit di kelas, agresif terhadap anak lainnya (memukul, menggigit, dsb.) atau pun menunjukkan sikap-sikap melawan atau menentang gurunya.
d.    Menunjukkan ekspresi/raut wajah sedemikian rupa untuk meminta belas kasih guru agar diijinkan pulang dan ini berlangsung selama periode tertentu.
e.    Tidak masuk sekolah selama beberapa hari.
f.     Keluhan fisik yang sering dijadikan alasan seperti sakit perut, sakit kepala, pusing, mual, muntah-muntah, diare, gatal-gatal, gemetaran, keringatan, atau keluhan lainnya. Anak berharap dengan mengemukakan alasan sakit, maka ia diperbolehkan tinggal di rumah.
g.    Mengemukakan keluhan lain (di luar keluhan fisik) dengan tujuan tidak usah berangkat ke sekolah.

3.    Faktor Penyebab
Ada beberapa penyebab yang membuat anak seringkali menjadi mogok sekolah. Orangtua perlu bersikap hati-hati dan bijaksana dalam menyikapi sikap pemogokan itu, agar dapat memberikan penanganan yang benar-benar tepat. Alangkah baiknya, jika orangtua mau bersikap terbuka dalam mempelajari dan mencari semua kemungkinan yang bisa terjadi. Konsultasi dengan guru di sekolah, sharing dengan sesama orangtua murid, diskusi dengan anak, konsultasi dengan konselor/psikolog, (kalau perlu) memeriksakan anak ke paramedis/dokter sesuai keluhan yang dikemukakannya, hingga introspeksi diri adalah metode yang tepat untuk mendapatkan gambaran penyebab dari fobia sekolah anak. Berhati-hatilah untuk membuat diagnosa secara subyektif, didasarkan pada pendapat pribadi diri sendiri atau keluhan anak semata. Di bawah ini ada beberapa penyebab fobia sekolah atau school refusal, yaitu:
a.    Separation Anxiety
Separation anxiety pada umumnya dialami anak-anak kecil usia balita (18–24 bulan) Kecemasan itu sebenarnya adalah fenomena yang normal. Anak yang lebih besarpun (preschooler, TK hingga awal SD) tidak luput dari separation anxiety. Bagi mereka, sekolah berarti pergi dari rumah untuk jangka waktu yang cukup lama. Mereka tidak hanya akan merasa rindu terhadap orangtua, rumah, atau pun mainannya tapi mereka pun cemas menghadapi tantangan, pengalaman baru dan tekanan-tekanan yang dijumpai di luar rumah.
Separation anxiety bisa saja dialami anak-anak yang berasal dari keluarga harmonis, hangat dan akrab yang sangat dekat hubungannya dengan orang tua. Singkat kata tidak ada masalah dengan orang tua. Orangtua mereka adalah orangtua yang baik dan peduli pada anak, dan mempunyai kelekatan yang baik. Namun tetap saja anak cemas pada saat sekolah tiba. Tanpa orangtua pahami, anak-anak sering mencemaskan orangtuanya. Mereka takut apabila orangtua mereka diculik, atau diserang monster atau mengalami kecelakaan sementara mereka tidak berada di dekat orangtua. Ketakutan itu tidak dibuat-buat, namun merupakan fenomena yang biasa hingga pada anak-anak usia batita dan balita. Oleh sebab itu, mereka tidak ingin berpisah dari orangtua dan malah lengket-nempel terus kepada ibu dan ayahnya. Peningkatan kecemasan menimbulkan rasa tidak nyaman pada tubuh mereka, dan inilah yang sering dikeluhkan (perut sakit, mual, pusing, dsb). Sejalan dengan perkembangan kognisi anak, ketakutan dan kecemasan yang bersifat irrasional itu akan memudar dengan sendirinya karena anak mulai bisa berpikir logis dan realistis.
Separation anxiety bisa muncul kala anak selesai menjalani masa liburan panjang atau pun mengalami sakit serius hingga tidak bisa masuk sekolah dalam jangka waktu yang panjang. Selama di rumah atau liburan, kuantitas kedekatan dan interaksi antara orangtua dengan anak tentu saja lebih tinggi daripada ketika masa sekolah. Situasi demikian, sudah tentu membuat anak nyaman dan aman. Pada waktu sekolah anak tiba anak harus menghadapi ketidakpastian yang menimbulkan rasa cemas dan taku. Namun dengan berjalannya waktu, anak memiliki rasa percaya diri, dapat perlahan-lahan beradaptasi dengan situasi sekolah.
Anak yang mempunyai rasa percaya diri yang rendah, berpotensi menjadi anak yang anxiety prone-children (anak yang memiliki kecenderungan mudah cemas) dan cenderung mudah mengalami depresi. Banyak orangtua yang tidak sadar bahwa sikap dan pola asuh yang diterapkan pada anak ikut menyumbang terbentuknya dependency (ketergantungan), rasa kurang percaya diri dan kekhawatiran yang berlebihan. Contohnya sikap orang tua yang overprotective terhadap anak hingga tidak menumbuhkan rasa percaya diri keberanian dan kemandirian. Anak tidak pernah diperbolehkan, dibiarkan atau didorong untuk berani mandiri. Orangtua takut apabila anaknya kelelahan, terluka, jatuh, tersesat, sakit, dan berbagai alasan lainnya. Anak selalu berada dalam proteksi, pelayanan dan pengawalan melekat dari orangtua.
Akibatnya, anak akan tumbuh menjadi anak manja, selalu tergantung pada pelayanan dan bantuan orangtua, penakut, cengeng, dan tidak mampu memecahkan persoalannya sendiri. Banyak orangtua yang tanpa sadar membuat pola ketergantungan ini berlangsung terus-menerus agar mereka merasa selalu dibutuhkan (berarti, berguna) dan sekaligus menjadikan anak sebagai teman “abadi”. Padahal, dibalik ketergantungan sang anak terhadap orangtua, tersimpan kebutuhan dan ketergantungan orangtua pada “pengakuan” sang anak. Akibatnya, keduanya tidak dapat memisahkan diri saat anak harus mandiri dan sulit bertumbuh menjadi individu yang dewasa.

b.    Pengalaman Negatif di Sekolah atau Lingkungan
Mungkin saja anak menolak ke sekolah karena dirinya kesal, takut dan malu setelah mendapat cemohan, ejekan atau pun di”ganggu” teman-temannya di sekolah. Atau anak merasa malu karena tidak cantik, tidak kaya, gendut, kurus, hitam, atau takut gagal dan mendapat nilai buruk di sekolah. Di samping itu, persepsi terhadap keberadaan guru yang galak, pilih kasih, atau “seram” membuat anak jadi takut dan cemas menghadapi guru dan mata pelajarannya. Atau, ada hal lain yang membuatnya cemas, seperti mobil jemputan yang tidak nyaman karena ngebut, perjalanan yang panjang dan melelahkan, takut pergi sendiri ke sekolah, takut sekolah setelah mendengar cerita seram di sekolah, takut menyeberang jalan, takut bertemu seseorang yang “menyeramkan” di perjalanan, takut diperas oleh kawanan anak nakal, atau takut melewati jalan yang sepi. Para ahli mengatakan, bahwa masalah-masalah tersebut sudah dapat menimbulkan stres dan kecemasan yang membuat anak menjadi moody, tegang, resah, dan mulai merengek tidak mau sekolah, ketika mulai mendekati waktu keberangkatan. Masalahnya, tidak semua anak bisa menceritakan ketakutannya itu karena mereka sendiri terkadang masih sulit memahami, mengekspresikan dan memformulasikan perasaannya. Belum lagi jika mereka takut dimarahi orangtua karena dianggap alasannya itu mengada-ada dan tidak masuk akal. Dengan sibuknya orangtua, sementara anak-anak lebih banyak diurus oleh baby sitter atau mbak, makin membuat anak sulit menyalurkan perasaannya; dan akhirnya yang tampak adalah mogok sekolah, agresif, pemurung, kehilangan nafsu makan, keluhan-keluhan fisik, dan tanda-tanda lain seperti yang telah disebutkan di atas.

c.    Problem Dalam Keluarga
            Penolakan terhadap sekolah bisa disebabkan oleh problem yang sedang dialami oleh orangtua atau pun keluarga secara keseluruhan. Misalnya, anak sering mendengar atau bahkan melihat pertengkaran yang terjadi antara ayah dan ibunya, tentu menimbulkan tekanan emosional yang mengganggu konsentrasi belajar. Anak merasa ikut bertanggung jawab atas kesedihan yang dialami orangtuanya, dan ingin melindungi, ibu atau ayahnya. Sakitnya salah seorang anggota keluarga, entah orangtua atau kakak/adik, juga dapat membuat anak enggan pergi ke sekolah. Anak takut jika terjadi sesuatu dengan keluarganya yang sakit ketika ia tidak ada di rumah.

4.    Penanganan
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan orangtua dalam menangani masalah fobia sekolah atau school refusal, yaitu:
a.    Tetap menekankan pentingnya bersekolah
Para ahli pendidikan dan psikolog berpendapat bahwa terapi terbaik untuk anak yang mengalami fobia sekolah adalah dengan mengharuskannya tetap bersekolah setiap hari (thebest therapy for school phobia is to be in school every day). Karena rasa takut harus diatasi dengan cara menghadapinya secara langsung. Menurut para ahli tersebut, keharusan untuk mau tidak mau setiap hari masuk sekolah, malah menjadi obat yang paling cepat mengatasi masalah fobia sekolah, karena lambat laun keluhannya akan makin berkurang hari demi hari. Makin lama dia “diijinkan” tidak masuk sekolah, akan makin sulit mengembalikannya lagi ke sekolah, dan bahkan keluhannya akan makin intens dan meningkat. Selain itu, dengan mengijinkannya absen dari sekolah, anak akan makin ketinggalan pelajaran, serta makin sulit menyesuaikan diri dengan teman-temannya. Kemungkinan besar anak akan coba-coba bernegosiasi dengan orangtua, untuk menguji ketegasan dan konsistensi orangtua. Jika ternyata pada suatu hari orangtua akhirnya “luluh”, maka keesokkan harinya anak akan mengulang pola yang sama. Tetaplah bersikap hangat, penuh pengertian, namun tegas dan bijaksana sambil menenangkan anak bahwa semua akan lebih baik setibanya dia di sekolah.
b.    Berusahalah untuk tegas dan konsisten
Berusahalah untuk tegas dan konsisten dalam bereaksi terhadap keluhan, rengekan, tantrum atau pun rajukan anak yang tidak mau sekolah. Entah karena pusing mendengar suara anak atau karena amat mengkhawatirkan kesehatan anak, orangtua seringkali meluluskan permintaan anak. Tindakan ini tentu tidak sepenuhnya benar. Jika ketika bangun pagi anak segar bugar dan bisa berlari-lari keliling rumah atau pun sarapan pagi dengan baik, namun pada saat mau berangkat sekolah, tiba-tiba mogok maka sebaiknya orangtua tidak melayani sikap “negosiasi” anak dan langsung mengantarnya ke sekolah. Satu hal penting untuk diingat adalah hindari sikap menjanjikan hadiah jika anak mau berangkat ke sekolah, karena hal ini akan menjadi pola kebiasaan yang tidak baik (hanya mau sekolah jika diberi hadiah). Anak tidak akan mempunyai kesadaran sendiri kenapa dirinya harus sekolah dan terbiasa memanipulasi orangtua/lingkungannya. Anak jadi tahu bagaimana taktik atau strategi yang jitu dalam mengupayakan agar keinginannya terlaksana.
Jika sampai terlambat, anak tetap harus berangkat ke sekolah kalau perlu ditemani/diantar orangtua. Demikian juga jika sesampai di sekolah anak minta pulang, maka orangtua harus tegas dan bekerja sama dengan pihak guru untuk menenangkan anak agar akhirnya anak merasa nyaman kembali. Jika anak menjerit, menangis, marah-marah atau bertingkah laku aneh-aneh lainnya, orangtua hendaknya sabar. Ajaklah anak ke tempat yang tenang dan bicaralah baik-baik hingga kecemasan dan ketakutannya berkurang/hilang, dan sesudah itu bawalah anak kembali ke kelasnya. Situasi ini dialami secara berbeda antara satuorang dengan yang lain, tergantung dari kemampuan orangtua menenangkan dan mendekatkan diri pada anak. Namun jika orangtua mengalami kesulitan dalam menghadapi sikap anaknya, mintalah bantuan pada guru atau sesama orangtua murid lainnya yang dikenal cukup dekat oleh anak. Terkadang, keberadaan mereka justru membuat anak lebih bisa mengendalikan diri.
c.    Konsultasikan masalah kesehatan anak pada dokter
Jika orangtua tidak yakin akan kesehatan anak, bawalah segera ke dokter untuk mendapatkan kepastian tentang ada/tidaknya problem kesehatan anak. orangtua tentu lebih peka terhadap keadaan anaknya setiap hari; perubahan sekecil apapun biasanya akan mudah dideteksi orangtua. Jadi, ketika anak mengeluhkan sesuatu pada tubuhnya (pusing, mual, dsb.), orangtua dapat membawanya ke dokter yang buka praktek di pagi hari agar setelah itu anak tetap dapat kembali ke sekolah. Selain itu, dokter pun dapat membantu orangtua memberikan diagnosa, apakah keluhan anak merupakan pertanda dari adanya stres terhadap sekolah, ataukah karena penyakit lainnya yang perlu ditangani secara seksama.
d.    Bekerjasama dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah
Pada umumnya para guru sudah biasa menangani masalah fobia sekolah atau pun school refusal (terutama guru-guru pre-school hingga TK). Hampir setiap musim sekolah tiba, ada saja murid yang mogok sekolah atau menangis terus tidak mau ditinggal orangtuanya atau bahkan minta pulang. Orangtua bisa minta bantuan pihak guru atau pun school assistant untuk menenangkan anak dengan cara-cara seperti membawanya ke perpustakaan, mengajak anak beristirahat sejenak di tempat yang tenang, atau pada anak yang lebih besar, guru dapat mendiskusikan masalah yang sedang memberati anak. Guru yang bijaksana, tentu bersedia memberikan perhatian ekstra terhadap anak yang mogok untuk mengembalikan kestabilan emosi sambil membantu anak mengatasi persoalan yang dihadapi-yang membuatnya cemas, gelisah dan takut. Selain itu, berdiskusi dengan guru untuk meneliti faktor penyebab di sekolah (misalnya diejek teman, dipukul, dsb) adalah langkah yang bermanfaat dalam upaya memahami situasi yang biasa dihadapi anak setiap hari.
e.    Luangkan waktu untuk berdiskusi/berbicara dengan anak
Luangkan waktu yang intensif dan tidak tergesa-gesa untuk dapat mendiskusikan apa yang membuat anak takut, cemas atau enggan pergi ke sekolah. Hindarkan sikap mendesak atau bahkan tidak mempercayai kata-kata anak. Cara ini hanya akan membuat anak makin tertutup pada orangtua hingga masalahnya tidak bisa terbuka dan tuntas. Orangtua perlu menyatakan kesediaan untuk mendampingi dan membantu anak mengatasi kecemasannya terhadap sesuatu, termasuk jika masalah bersumber dari dalam rumah tangga sendiri. Orangtua perlu introspeksi diri dan kalau perlu merubah sikap demi memperbaiki keadaan dalam rumah tangga. Orangtua pun dapat mengajarkan cara-cara atau strategi yang bisa anak gunakan dalam menghadapi situasi yang menakutkannya. Lebih baik membekali anak dengan strategi pemecahan masalah daripada mendorongnya untuk menghindari masalah, karena anak akan makin tergantung pada orang tua, makin tidak percaya diri, makin penakut, dan tidak termotivasi untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
f.     Lepaskan anak secara bertahap
Pengalaman pertama bersekolah tentu mendatangkan kecemasan bagi anak, terlebih karena ia harus berada di lingkungan baru yang masih asing baginya dan tidak dapat ia kendalikan sebagaimana di rumah. Tidak heran banyak anak menangis sampai menjerit-jerit ketika diantar ibunya ke sekolah. Pada kasus seperti ini, orangtua perlu memberikan kesempatan pada anak menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Pada beberapa sekolah, orangtua/pengasuh diperbolehkan berada di dalam kelas hingga 1-2 minggu atau sampai batas waktu yang telah ditentukan pihak sekolah. Lepaskan anak secara bertahap, misalnya pada hari-hari pertama, orangtua berada di dalam kelas dan lama kelamaan bergeser sedikit-demi sedikit di luar kelas namun masih dalam jangkauan penglihatan anak. Jika anak sudah bisa merasa nyaman dengan lingkungan baru dan tampak “happy” dengan teman-temannya maka sudah waktunya bagi orangtua untuk meninggalkannya di kelas dan sudah waktunya pula bagi orangtua untuk tidak lagi bersikap overprotective, demi menumbuhkan rasa percaya diri pada anak dan kemandirian.
g.    Konsultasikan pada psikolog/konselor jika masalah terjadi berlarut-larut
Jika anak tidak dapat mengatasi fobia sekolahnya hingga jangka waktu yang panjang, hal ini menandakan adanya problem psikologis yang perlu ditangani secara proporsional oleh ahlinya. Apalagi, jika fobia sekolah ini sampai mengakibatkan anak ketinggalan pelajaran prestasinya menurun dan hambatan penyesuaian diri yang serius maka secepat mungkin persoalan ini segera dituntaskan. Psikolog/konselor akan membantu menemukan pokok persoalan yang mendasari ketakutan, kecemasan anak, sekaligus menemukan elemen lain yang tidak terpikirkan oleh keluarga, namun justru timbul dari dalam keluarga sendiri (misalnya takut dapat nilai jelek karena takut dimarahi oleh ayahnya). Untuk itulah konselor/psikolog umumnya menghendaki keterlibatan secara aktif dari pihak orangtua dalam menangani masalah yang dihadapi anaknya.
Jadi, orangtua pun harus belajar mengenali siapa dirinya dan menilai bagaimana perannya sebagai orangtua melalui masalah-masalah yang timbul dalam diri anak. Jadi, persoalan mogok sekolah seyogyanya bukanlah masalah yang serius (kecuali ada masalah kesehatan serius). Namun jika dibiarkan berlarut-larut dapat benar-benar menjadi masalah serius.











DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Child and Adolescent Psychiatry (2004). Children who won′t go to school. Fact Sheets For Families, 7.
Burke, A. E., & Silverman, W. K. (1987). The prescriptive treatment of schoolrefusal. Clinical Psychology Review, 7, 353-62.
Data Heyne, D. (2006). School refusal. Pada J. E. Fisher & W. O'Donohue (Eds.).
Durand, V. Mark & Barlow, David H. 2006. Intisari Psikologi Abnormal, Jilid Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Egger, H. L., Costello, E. J. & Angold, A. (2003). Refusal and Psychiatric Disorders:A Community Study. PSYCH. Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry: 42, 797-807.
Jahja, Yudrik. 2011. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta
Practitioner′s guidelines for evidence based psychotherapy.New York: Kluwer.
http://imamstory.blogspot.com/2012/06/fobia-contoh.html diakses pada tanggal 21 Oktober 2012

0 Responses to "Gangguan Kecemasan (Phobia)":