A.
Definisi Kecemasan, Ketakutan, dan Panik
Anxiety
(kecemasan) adalah keadaan suasana-perasaan yang ditandai oleh gejala-gejala
jasmaniah seperti ketegangan fisik dan kekhawatiran tentang masa depan. Pada
manusia, kecemasan bisa jadi berupa perasaan gelisah yang bersifat subjektif,
sejumlah perilaku atau respon fisiologis yang bersumber di otak dan tercermin
dalm bentuk denyut jantung yang meningkat dan otot yang menegang. Di sisi lain,
kecemasan juga menguntungkan bagi manusia, setidaknya dalam jumlah yang
sedang-sedang saja. Sejak hamper satu abad silam para pakar psikologi telah
tahu bahwa kita dapat bekerja dengan lebih baik jika kita merasa sedikit cemas.
Kita tidak akan sukses dalam mengerjakan ujian jika kita tidak merasa cemas sama sekali. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah keadaan suasana hati yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah di mana seseorang mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan di masa yang akan datang dengan perasaan khawatir.
Kita tidak akan sukses dalam mengerjakan ujian jika kita tidak merasa cemas sama sekali. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah keadaan suasana hati yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah di mana seseorang mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan di masa yang akan datang dengan perasaan khawatir.
Fear
(ketakutan) adalah alarm reaction
(reaksi alarm) segera atau langsung terhadap bahaya. Seperti kecemasan,
ketakutan juga ada baiknya untuk kita. Ketakutan melindungi kita denga
mengaktifkan respon massif dari system
saraf otonom (denyut jantung dan tekanan darah yang meningkat), yang bersama
perasaan terteror subjektif kita, mendorong kita untuk lari, atau mungkin
menyerang balik (fight). Sehingga
fear atau ketakutan dapat didefinisikan sebagai sebuah respons emosional yang
berupa reaksi siaga langsung terhadap kemunculan bahaya atau keadaan darurat
yang mengancam keselamatan jiwa. Sedangkan panic didefenisikan sebagai
pengalaman ketakutan intens yang dating seketika, atau perasaan tidak nyaman
yang akut yang disertai oleh gejala-gejala fisik yang biasanya melibatkan degup
jantung yang kencang, nyeri di bagian dada, napas yang tersengal-sengal. Ada
tiga macam setangan panic dasar yang dideskirpsikan dalam DSM-IV, yaitu
serangan yang terkait dengan situasi, serangan yang tidak terduga, dan serangan
yang terdisposisi secara situsional.
B.
Penyebab Kecemasan
1.
Kontribusi Biologis
Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa kita mewarisi
kecenderungan untuk tegang dan gelisah. Kecemasan berhubungan dengan sirkuit
otak dan system neurotransmitter tertentu. Beberapa tahun terakhir semakin
banyak perhatian yang difokuskan pada peran sistem corticotropin releasing factor (CRF) yang sangat penting untuk
ekspresi kecemasan dan depresi. Ini disebabkan karena CRF mengaktifkan
aksis-HPA, yang emrupakan bagian system CRF dan system CRF ini memiliki efek
yang luas pada wilayah-wilayah otak yang terimplikasi dalam kecemasan-kecemasan
termasuk otak-emosional (system limbic),
terutama hipokampus dan amigdala, lokus sereleus dalam batang otak, korteks
prefrontal, dan system neurotransmitter dopamonergik. Daerah otak yang sering
berhubungan dengan kecemasan adalah system limbic. Yang bertindak sebagai
mediator antara batang otak dan korteks.
2.
Kontribusi Psikologis
Para pakar teori perilaku melihat kecemasan sebagai
produk pengkondisian klasik awal, modeling, dan bentuk-bentuk belajar lainnya.
Semakin banyak bukti yang mendukung model integrasi tentang kecemasan yang
melibatkan beraneka macam factor. Di masa anak-anak kita mungkin memperoleh
kesadaran bahwa tidak mungkin memperoleh kesadaran bahwa tidak semua kejadian
dapat kita kontrol. Persepsi bahwa berbagai kejadian mungkin tidak dapat kita
kontrol ini paling tampak nyata dalam bentuk keyakinan-keyakinan yang dipenuhi
bahaya. Contohnya bila kita mencemaskan prestasi kita di sekolah, kita mungkin
akan berpikir bahwa kita tidak akan berhasil dalam ujian yang akan dating. Kita
juga mungkin berpikir bahwa tidak ada cara untuk bisa lulus dalam mata kuliah
yang dimaksud, meskipun semua nilai selama ini selalu A atau B.
Di bawah ini gejala-gejala yang ditunjukkan apabila
seseorang terserang serangan panik:
·
Jantung
berdebar kencang
·
Keringat
bercucuran
·
Gemetar
atau mengigil
·
Napas
pendek-pendek
·
Perasaan
tercekik
·
Nyeri
di bagian dada
·
Mual
·
Pusing
·
Perasaan
tidak nyata
·
Takut
kehilangan control
·
Takut
mati
·
Mati
rasa
·
Panas
dingin
Kebanyakan pembicaraan psikologis mengenai panic
memunculkan penjelasan tentang conditioning dan cognitive yang satu sama lain
sulit dipisahkan. Jadi respon ketakutan yang kuat pada awalnya muncul selama keadaan stress
ekstrem atau sebagai akibat adanya situasi berbahaya di lingkungan. Respon
emosional ini kemudian diasosiasikan dengan sejumlah stimulus eksternal dan
internal.
3.
Kontribusi Sosial
Peristiwa yang menimbulkan stress memicu kerentanan kita
terhadap kecemasan. Sebagian besar bersifat pribadi yaitu perkawinan, pereraian, masalah di
tempat kerja, kematian orang yang dicintai, dan sebagainya. Sebagian lainnya
bersifat fisik, seperti cedera atau penyakit. Tekanan social, sperti tekanan
untuk menjadi juara sekolah, dapat juga menimbulkan stres yang cukup kuat untuk
memicu kecemasan. Stresor yang sama dapat memicu reaksi-reaksi fisik seperti
sakit kepala atau hipertensi serta reaksi-reaksi emosional seperti misalnya
serangan panik. Cara khas yang kita gunakan untuk memberikan reaksi terhadap
stress tampaknya juga dapat ditemukan dalam keluarga kita.
4.
Model Integratif
Terdapat tiga bentuk kerentanan yang memberikan
kontribusi pada perkembangan berbagai gangguan kecemasan:
·
Kerentanan biologis menyeluruh (generalized biological vulnerability). Kecenderungan untuk gelisah atau tegang itu yampaknya
diturunkan atau diwariskan. Tetapi, kerentanan biologis menyeluruh untuk
mengalami kecemasan bukanlah kecemasan itu sendiri.
·
Kerentanan psikologis menyeluruh (generalized psychological vulnerability). Artinya,berdasarkan pengalaman awal, kita mungkin
tumbuh dewasa dengan disertai keyakinan bahwa dunia ini berbahaya dan di luar
control. Dan kita tidak mampu mengatasi bila ada hal buruk yang menimpa kita.
·
Kerentanan psikologis spesifik (specific psychology vulnerability). Dimana manusia belajar dari pengalaman awal, misalnya
dari apa yang diajarkan oleh orang tua, bahwa situasi atau objek tertentu
berbahaya (meskipun sebenarnya tidak). Contohnya apabila ayah takut anjing,
maka anak juga akan takut pada anjing karena beranggapan bahwa anjing adalah
sesuatu yang berbahaya.
C.
Fobia Khas
1.
Definisi Klinis
Fobia
khas (spesific fobia) adalah
ketakutan irasional terhadap suatu objek atau situasi tertentu yang dengan
jelas mengganggu kemampuan individu untuk menjalankan fungsinya. Fobia ini
merupakan bagian dari gangguan kecemasan karena orang yang mengalami fobia
merasa kecemasan berlebih pada sesuatu hal tertentu. Banyak orang yang secara
rasional takut pada hal yang sebenarnya tidak membahayakan, seperti takut ke
dokter gigi. Untuk alasan inilah sampai tingkat tertentu kebanyakan orang dapat
diidentifikasi memiliki fobia terhadap hal tertentu.
Ternyata
ragam fobia sama banyaknya dengan banyaknya benda dari situasi yang ada di
dalam dunia ini. Berdasarkan “List of Fobias”, oleh J.D. Maser, tercatat ada 25
jenis fobia yang dimulai dari huruf A. Hal ini hanyalah sebagian dari daftar
panjang dan masih banyak lagi jenis fobia yang diklasifikasikan. Secara umum,
ada lima subtipe fobia khas yaitu fobia terhadap binatang, lingkungan alam
(ketinggian, badai, dan air), darah-suntikan/injeksi-luka, situasional (kapal
terbang, lift, atau tempat tertutup), dan “lain-lain” (misalnya, situasi yang
dapat mengakibatkan timbulnya perasaan tercekik, muntah, atau mengidap/tertular
penyakit tertentu; atau pada anak-anak, perilaku menghindari suara-suara keras
atau orang yang mengenakan kostum yang menggambarkan tokoh tertentu).
Blood-Injury-Injection Fobia adalah ketakutan dan sikap
menghindar yang tidak masuk akal ketika melihat darah, luka, atau kemungkinan
menerima suntikan. Korban sering mengalami pingsan dan tekanan darah
anjlok. Situasional Fobia adalah ketakutan terhadap tempat-tempat tertutup
(misalnya, klaustrofobia) atau alat transportasi umum (misalnya, takut naik
pesawat). Natural Enviroment Fobia
adalah ketakutan terhadap situasi atau kejadian yang terdapat di alam, terutama
ketinggian, badai, dan air. Animal Fobia
adalah ketakutan terhadap binatang yang biasanya mulai berkembang sejak usia
dini. Separation Anxiety Fobia adalah
kecemasan eksesif dan persisten pada anak-anak, bahwa sesuatu yang buruk akan
menimpa diri mereka sendiri atau orangtuanya selama mereka berpisah.
2.
Penyebab
Fobia bisa diperoleh dari melalui pengalaman langsung
yang traumatik, dimana keadaan bahaya atau sakitnya riil dan menghasilkan
respon terhadap adanya bahaya (alarm yang sebenarnya). Ini salah satu cara
untuk mengembangkan fobia. Ada tiga cara lainnya untuk mengalami fobia, yaitu:
mengalami alarm palsu (serangan panik) dalam situasi tertentu, melihat orang
lain mengalami ketakutan yang berat (pengalaman ketakutan yang dialami orang
lain), atau diberi tahu tentang adanya bahaya dalam keadaan yang tepat (yang
mendukung perkembangan fobia).
D.
Fobia Sosial
1.
Definisi Klinis
Fobia sosial (social
fobia) adalah ketakutan dan perilaku
menghindar yang ekstrem, menetap, dan irasional terhadap situasi-situasi sosial
atau yang melibatkan performa. Tipe fobia yang paling sering dijumpai, yang
dialami oleh sebagian besar orang, adalah ketakutan untuk berbicara di depan
umum. Situasi lain yang lazim ditakuti adalah makan di restoran, menandatangani
surat di depan petugas; atau untuk laki-laki, buang air kecil di toilet umum
(ini dikenal dengan istilah “bashful bladder”). Kesamaan yang terdapat dalam
contoh-contoh ini adalah individu harus melakukan sesuatu di depan orang-orang
yang menonton dan sampai tingkat tertentu, menilai penampilannya. Ini merupakan
fobia sosial, karena orang tidak memiliki masalah dengan makan, menulis, atau
buang air kecil di tempat tertutup. Hanya jika ada orang lain yang melihat,
perilaku tersebut menjadi terganggu.
2.
Penyebab
Ada tiga jalur fobia sosial. Pertama, seseorang mewarisi
kerentanan biologis menyeluruh untuk mengembangkan kecemasan dan/atau
kecenderungan biologis untuk menjadi terhambat secar sosial. Eksistensi
kerentanan psikologis menyeleruh seperti tercermin pada perasaan bahwa berbagai
peristiwa, khususnya peristiwa yang sangat menimbulkan stres, mungkin tidak
dapat dikontrol dan dengan demikian akan mempertinggi kerentanan individu.
Ketika mengalami stres, kecemasan dan perhatian yang difokuskan pada diri
sendiri dapat meningkat sampai titik yang mengganggu kinerja, bahkan tanpa
disertai oleh adanya alarm (serangan panik). Kedua, ketika dalam keadaan stres,
seseorang mungkin mengalami serangan panik yang tak terduga (alarm palsu) pada
sebuah situasi sosial yang selanjutnya akan dikaitkan (dikondisikan) dengan
stimulus-stimulus sosial. Individu kemudian akan menjadi sangat cemas tentang
kemungkinan untuk mengalami alarm (serangan panik) lain (yang dipelajari)
ketika berada dalam situasi-situasi sosial yang sama atau mirip. Ketiga,
seseorang mungkin mengalami trauma sosial riil yang menimbulka alarm aktual.
Kecemasan lalu berkembang (terkondisi) di dalam situasi-situasi sosial yang
sama atau mirip. Tetapi harus ada satu faktor lagi untuk dapat memenuhi
kriteria gangguan kecemasan sosial. Individu dengan kerentanan dan pengalaman
seperti yang dijelaskan di atas juga sudah harus belajar bahwa evaluasi sosial
bisa berbahaya.
E.
Contoh Kasus Fobia dan Cara Mengatasinya
Andri adalah murid salah satu
sekolah dasar di Semarang, ia memiliki masalah ketidakmampuan menjalin hubungan
sosial yang baik dengan teman sebayanya dikarenakan terlalu banyak bermain game
online. Semakin berjalannya waktu dan ketidakmampuan Andri untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi, masalah Andri ini menjadi meluas. Tidak hanya dengan
teman-teman sebayanya tetapi juga dengan guru-guru pengajar. Yang menjadi
perhatian adalah ketika Andri berbicara dengan orang lain. Tidak terfokus
dengan lawan bicara, hanya tersenyum-senyum sambil menggerakkan kepalanya
dengan hitungan patah-patah seperti boneka kayu yang kaku dan pandangan kosong
lurus ke depan. Hitungan fokus untuk menatap lawan bicara hanya kurang dari 6
detik dan fokus pada topik pembicaraan hanya kurang dari 9 detik. Pola seperti
ini, terulang terus menerus ketika Andri dihadapkan pada situasi yang
mengharuskan dia untuk berkomunikasi dengan dua orang atau lebih.
Pola yang terulang terus-menerus setiap
kali berbicara dengan Andri, membuat teman-teman sekelasnya menjauhi Andri.
Bahkan ada seorang guru yang membentak Andri dengan menggunakan kata “gendeng
dan autis.” Masalah baru muncul. Andri tidak hadir di sekolah
sampai hampir 1 minggu. Menurut pengakuan ibunya, setiap disuruh berangkat ke
sekolah, badan Andri mendadak panas dan kakinya dingin yang disertai dengan
diare. Empat surat izin tidak masuk karena sakit dari orang tua Andri, terdapat
di atas meja kerja guru. Tiga kali diperiksakan ke dokter oleh orang tuanya,
tidak diketahui adanya penyakit berbahaya. Menurut analisa dokter, sakitnya
Andri dikarenakan Andri mengalami stres berat dan ketakutan akan sesuatu.
Kepada ibunya, Andri bercerita kalau dia takut berhadapan dengan guru yang
mengatakan dia “gendeng dan autis”. Sehingga membuat dia takut berangkat ke
sekolah.
Gejala yang dialami oleh Andri,
menunjukkan bahwa Andri terserang Fobia Sekolah (Scolionofobia). Menurut
Jacinta F. Rini, fobia sekolah adalah bentuk kecemasan yang tinggi terhadap
sekolah yang biasanya disertai dengan berbagai keluhan yang tidak pernah muncul
atau pun hilang ketika “masa keberangkatan” sudah lewat atau pada hari Minggu
atau hari libur. Fobia sekolah dapat sewaktu-waktu dialami oleh setiap anak
hingga usianya 14-15 tahun, saat dirinya mulai bersekolah di sekolah baru atau
menghadapi lingkungan baru atau pun ketika ia menghadapi suatu pengalandri yang
tidak menyenangkan di sekolah.
Ø Cara Mengatasi
a.
Terapi
berbicara.
Perawatan ini seringkali efektif
untuk mengatasi berbagai fobia. Jenis terapi bicara yang bisa digunakan adalah:
1. Konseling: konselor biasanya akan
mendengarkan permasalahan seseorang, seperti ketakutannya saat berhadapan
dengan barang atau situasi yang membuatnya cemas. Setelah itu konselor akan
memberikan cara untuk mengatasinya.
2. Psikoterapi: seorang psikoterapis
akan menggunakan pendekatan secara mendalam untuk menemukan penyebabnya dan
memberi saran bagaimana cara-cara yang bisa dilakukan untuk mengatasinya.
3. Terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavioural Therapy/CBT):
yaitu suatu konseling yang akan menggali pikiran, perasaan dan perilaku
seseorang dalam rangka mengembangkan cara-cara praktif yang efektif untuk
melawan fobia.
b. Terapi pemaparan diri (Desensitisation).
Orang yang mengalami fobia sederhana
bisa diobati dengan menggunakan bentuk terapi perilaku yang dikenal dengan
terapi pemaparan diri. Terapi ini dilakukan secara bertahap selama periode
waktu tertentu dengan melibatkan objek atau situasi yang membuatnya takut.
Secara perlahan-lahan seseorang akan mulai merasa tidak cemas atau takut lagi
terhadap hal tersebut. Kadang-kadang dikombinasikan dengan pengobatan dan
terapi perilaku.
c. Menggunakan obat-obatan.
Penggunaan obat sebenarnya tidak dianjurkan
untuk mengatasi fobia, karena biasanya dengan terapi bicara saja sudah cukup
berhasil. Namun, obat-obatan ini dipergunakan untuk mengatasi efek dari fobia
seperti cemas yang berlebihan.
Terdapat 3 jenis obat yang direkomendasikan untuk mengatasi
kecemasan, yaitu:
1. Antidepresan: obat ini sering
diresepkan untuk mengurangi rasa cemas, penggunaannya dizinkan untuk mengatasi
fobia yang berhubungan dengan sosial (social
fobia).
2. Obat penenang: biasanya menggunakan
obat yang mengandung turunan benzodiazepines. Obat ini bisa digunakan untuk
mengatasi kecemasan yang parah, tapi dosis yang digunakan harus serendah
mungkin dan penggunaannya sesingkat mungkin yaitu maksimal 4 minggu. Ini
dikarenakan obat tersebut berhubungan efek ketergantungan.
3. Beta-blocker: obat ini biasanya
digunakan untuk mengobati masalah yang berhubungan dengan kardiovaskular,
seperti masalah jantung dan tekanan darah tinggi (hipertensi). Karena berguna
untuk mengurangi kecemasan yang disertai detak jantung tak beraturan
F.
Pembahasan Scolionofobia (Fobia Sekolah)
1.
Scolionofobia dan Tingkatanya pada Anak
Fobia
sekolah adalah bentuk kecemasan dan penolakan yang tinggi terhadap sekolah yang
biasanya disertai dengan berbagai keluhan yang tidak pernah muncul pada saat
anak memasuki masa sekolah. Terdapat 4 tingkatan dalam fobia sekolah
yaitu:
a. Initial
school refusal behavior,
yaitu sikap menolak sekolah yang berlangsung dalam waktu yang sangat singkat
(seketika/tiba-tiba).
b. Substantial
school refusal behavior,
yaitu sikap penolakan yang berlangsung selama minimal 2 minggu.
c. Acute
school refusal behavior,
yaitu sikap penolakan yang bisa berlangsung 2 minggu hingga 1 tahun, dan selama
itu anak mengalami masalah setiap kali hendakberangkat sekolah
d.
Chronic school refusal behavior, yaitu sikap penolakan yang
berlangsung lebih dari setahun, bahkan mungkin berlanjut selama anak tersebut bersekolah
di tempat itu.
2.
Tanda-tanda
Fobia Sekolah
Ada beberapa tanda yang dapat dijadikan
sebagai kriteria fobia sekolah atau pun school
refusal, yaitu:
a. Menolak
untuk berangkat ke sekolah.
b. Mau
datang ke sekolah, tetapi tidak lama kemudian minta pulang
c. Pergi
ke sekolah dengan menangis, menempel terus dengan ibu/ayahnya
atau pengasuhnya, atau menunjukkan “tantrum”nya seperti menjerit-jerit di
kelas, agresif terhadap anak lainnya (memukul, menggigit, dsb.) atau
pun menunjukkan sikap-sikap melawan atau menentang gurunya.
d. Menunjukkan
ekspresi/raut wajah sedemikian rupa untuk meminta belas kasih guru agar
diijinkan pulang dan ini berlangsung selama periode tertentu.
e. Tidak
masuk sekolah selama beberapa hari.
f. Keluhan
fisik yang sering dijadikan alasan seperti sakit perut, sakit kepala,
pusing, mual, muntah-muntah, diare, gatal-gatal, gemetaran, keringatan, atau keluhan
lainnya. Anak berharap dengan mengemukakan alasan sakit, maka ia diperbolehkan
tinggal di rumah.
g. Mengemukakan
keluhan lain (di luar keluhan fisik) dengan tujuan tidak usah berangkat ke
sekolah.
3.
Faktor Penyebab
Ada beberapa penyebab yang membuat anak
seringkali menjadi mogok sekolah. Orangtua perlu bersikap hati-hati dan
bijaksana dalam menyikapi sikap pemogokan itu, agar dapat memberikan penanganan
yang benar-benar tepat. Alangkah baiknya, jika orangtua mau bersikap
terbuka dalam mempelajari dan mencari semua kemungkinan yang bisa terjadi. Konsultasi
dengan guru di sekolah, sharing dengan sesama orangtua murid, diskusi dengan
anak, konsultasi dengan konselor/psikolog, (kalau perlu) memeriksakan anak ke
paramedis/dokter sesuai keluhan yang dikemukakannya, hingga introspeksi diri adalah
metode yang tepat untuk mendapatkan gambaran penyebab dari fobia sekolah anak.
Berhati-hatilah untuk membuat diagnosa secara subyektif, didasarkan pada
pendapat pribadi diri sendiri atau keluhan anak semata. Di bawah ini ada
beberapa penyebab fobia sekolah atau school
refusal, yaitu:
a.
Separation Anxiety
Separation
anxiety pada umumnya dialami anak-anak kecil usia balita (18–24
bulan) Kecemasan itu sebenarnya adalah fenomena yang normal. Anak yang lebih
besarpun (preschooler, TK hingga awal SD) tidak luput dari separation anxiety.
Bagi mereka, sekolah berarti pergi dari rumah untuk jangka waktu yang
cukup lama. Mereka tidak hanya akan merasa rindu terhadap orangtua,
rumah, atau pun mainannya tapi mereka pun cemas menghadapi tantangan,
pengalaman baru dan tekanan-tekanan yang dijumpai di luar rumah.
Separation
anxiety bisa saja dialami anak-anak yang berasal dari keluarga
harmonis, hangat dan akrab yang sangat dekat hubungannya dengan orang tua.
Singkat kata tidak ada masalah dengan orang tua. Orangtua mereka adalah
orangtua yang baik dan peduli pada anak, dan mempunyai kelekatan yang baik.
Namun tetap saja anak cemas pada saat sekolah tiba. Tanpa orangtua pahami,
anak-anak sering mencemaskan orangtuanya. Mereka takut apabila orangtua mereka
diculik, atau diserang monster atau mengalami kecelakaan sementara mereka tidak
berada di dekat orangtua. Ketakutan itu tidak dibuat-buat, namun merupakan
fenomena yang biasa hingga pada anak-anak usia batita dan balita. Oleh sebab
itu, mereka tidak ingin berpisah dari orangtua dan malah lengket-nempel
terus kepada ibu dan ayahnya. Peningkatan kecemasan menimbulkan rasa tidak
nyaman pada tubuh mereka, dan inilah yang sering dikeluhkan (perut sakit, mual,
pusing, dsb). Sejalan dengan perkembangan kognisi anak, ketakutan dan
kecemasan yang bersifat irrasional itu akan memudar dengan sendirinya karena
anak mulai bisa berpikir logis dan realistis.
Separation
anxiety bisa muncul kala anak selesai menjalani masa liburan
panjang atau pun mengalami sakit serius hingga tidak bisa masuk sekolah
dalam jangka waktu yang panjang. Selama di rumah atau liburan, kuantitas
kedekatan dan interaksi antara orangtua dengan anak tentu saja lebih
tinggi daripada ketika masa sekolah. Situasi demikian, sudah tentu membuat anak
nyaman dan aman. Pada waktu sekolah anak tiba anak harus menghadapi
ketidakpastian yang menimbulkan rasa cemas dan taku. Namun dengan berjalannya
waktu, anak memiliki rasa percaya diri, dapat perlahan-lahan beradaptasi dengan
situasi sekolah.
Anak yang mempunyai rasa percaya diri
yang rendah, berpotensi menjadi anak yang anxiety prone-children (anak yang memiliki kecenderungan mudah cemas)
dan cenderung mudah mengalami depresi. Banyak orangtua yang tidak sadar bahwa sikap
dan pola asuh yang diterapkan pada anak ikut menyumbang terbentuknya dependency (ketergantungan), rasa kurang
percaya diri dan kekhawatiran yang berlebihan. Contohnya sikap orang tua yang overprotective terhadap anak hingga
tidak menumbuhkan rasa percaya diri keberanian dan kemandirian. Anak tidak
pernah diperbolehkan, dibiarkan atau didorong untuk berani mandiri. Orangtua
takut apabila anaknya kelelahan, terluka, jatuh, tersesat, sakit, dan
berbagai alasan lainnya. Anak selalu berada dalam proteksi, pelayanan dan pengawalan
melekat dari orangtua.
Akibatnya, anak akan tumbuh menjadi anak
manja, selalu tergantung pada pelayanan dan bantuan orangtua, penakut, cengeng,
dan tidak mampu memecahkan persoalannya sendiri. Banyak orangtua yang
tanpa sadar membuat pola ketergantungan ini berlangsung terus-menerus agar
mereka merasa selalu dibutuhkan (berarti, berguna) dan sekaligus menjadikan anak
sebagai teman “abadi”. Padahal, dibalik ketergantungan sang anak terhadap
orangtua, tersimpan kebutuhan dan ketergantungan orangtua pada “pengakuan” sang
anak. Akibatnya, keduanya tidak dapat memisahkan diri saat anak harus mandiri
dan sulit bertumbuh menjadi individu yang dewasa.
b.
Pengalaman
Negatif di Sekolah atau Lingkungan
Mungkin
saja anak menolak ke sekolah karena dirinya kesal, takut dan malu setelah mendapat
cemohan, ejekan atau pun di”ganggu” teman-temannya di sekolah. Atau
anak merasa malu karena tidak cantik, tidak kaya, gendut,
kurus, hitam, atau takut gagal dan mendapat nilai buruk di sekolah.
Di samping itu, persepsi terhadap keberadaan guru yang galak, pilih kasih,
atau “seram” membuat anak jadi takut dan cemas menghadapi guru dan mata
pelajarannya. Atau, ada hal lain yang membuatnya cemas, seperti mobil jemputan
yang tidak nyaman karena ngebut, perjalanan yang panjang dan melelahkan, takut
pergi sendiri ke sekolah, takut sekolah setelah mendengar cerita seram di
sekolah, takut menyeberang jalan, takut bertemu seseorang yang
“menyeramkan” di perjalanan, takut diperas oleh kawanan anak nakal, atau takut
melewati jalan yang sepi. Para ahli mengatakan, bahwa masalah-masalah
tersebut sudah dapat menimbulkan stres dan kecemasan yang membuat
anak menjadi moody, tegang,
resah, dan mulai merengek tidak mau sekolah, ketika mulai mendekati waktu keberangkatan.
Masalahnya, tidak semua anak bisa menceritakan ketakutannya itu karena mereka
sendiri terkadang masih sulit memahami, mengekspresikan dan
memformulasikan perasaannya. Belum lagi jika mereka takut dimarahi orangtua
karena dianggap alasannya itu mengada-ada dan tidak masuk akal. Dengan
sibuknya orangtua, sementara anak-anak lebih banyak diurus oleh baby sitter atau mbak, makin membuat
anak sulit menyalurkan perasaannya; dan akhirnya yang tampak adalah mogok
sekolah, agresif, pemurung, kehilangan nafsu makan, keluhan-keluhan fisik,
dan tanda-tanda lain seperti yang telah disebutkan di atas.
c.
Problem
Dalam Keluarga
Penolakan terhadap sekolah bisa
disebabkan oleh problem yang sedang dialami oleh orangtua atau pun keluarga
secara keseluruhan. Misalnya, anak sering mendengar atau bahkan melihat pertengkaran
yang terjadi antara ayah dan ibunya, tentu menimbulkan tekanan emosional yang mengganggu
konsentrasi belajar. Anak merasa ikut bertanggung jawab atas kesedihan yang dialami
orangtuanya, dan ingin melindungi, ibu atau ayahnya. Sakitnya salah seorang
anggota keluarga, entah orangtua atau kakak/adik, juga dapat membuat anak
enggan pergi ke sekolah. Anak takut jika terjadi sesuatu dengan
keluarganya yang sakit ketika ia tidak ada di rumah.
4.
Penanganan
Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan orangtua dalam menangani masalah fobia
sekolah atau school refusal, yaitu:
a.
Tetap
menekankan pentingnya bersekolah
Para
ahli pendidikan dan psikolog berpendapat bahwa terapi terbaik untuk anak yang mengalami
fobia sekolah adalah dengan mengharuskannya tetap bersekolah setiap hari (thebest therapy for school phobia is to be
in school every day). Karena rasa takut harus diatasi dengan cara
menghadapinya secara langsung. Menurut para ahli tersebut, keharusan
untuk mau tidak mau setiap hari masuk sekolah, malah menjadi obat
yang paling cepat mengatasi masalah fobia sekolah, karena lambat laun
keluhannya akan makin berkurang hari demi hari. Makin lama dia “diijinkan”
tidak masuk sekolah, akan makin sulit mengembalikannya lagi ke sekolah, dan
bahkan keluhannya akan makin intens dan meningkat. Selain itu, dengan mengijinkannya
absen dari sekolah, anak akan makin ketinggalan pelajaran, serta makin sulit menyesuaikan
diri dengan teman-temannya. Kemungkinan besar anak akan coba-coba
bernegosiasi dengan orangtua, untuk menguji ketegasan dan konsistensi orangtua.
Jika ternyata pada suatu hari orangtua akhirnya “luluh”, maka keesokkan harinya
anak akan mengulang pola yang sama. Tetaplah bersikap hangat, penuh
pengertian, namun tegas dan bijaksana sambil menenangkan anak bahwa
semua akan lebih baik setibanya dia di sekolah.
b.
Berusahalah
untuk tegas dan konsisten
Berusahalah
untuk tegas dan konsisten dalam bereaksi terhadap keluhan, rengekan, tantrum atau
pun rajukan anak yang tidak mau sekolah. Entah karena pusing mendengar
suara anak atau karena amat mengkhawatirkan kesehatan anak, orangtua seringkali
meluluskan permintaan anak. Tindakan ini tentu tidak sepenuhnya benar. Jika
ketika bangun pagi anak segar bugar dan bisa berlari-lari keliling rumah
atau pun sarapan pagi dengan baik, namun pada saat mau berangkat sekolah,
tiba-tiba mogok maka sebaiknya orangtua tidak melayani sikap “negosiasi” anak
dan langsung mengantarnya ke sekolah. Satu hal penting untuk diingat adalah
hindari sikap menjanjikan hadiah jika anak mau berangkat ke sekolah,
karena hal ini akan menjadi pola kebiasaan yang tidak baik (hanya mau
sekolah jika diberi hadiah). Anak tidak akan mempunyai kesadaran sendiri kenapa
dirinya harus sekolah dan terbiasa memanipulasi orangtua/lingkungannya. Anak
jadi tahu bagaimana taktik atau strategi yang jitu dalam mengupayakan agar
keinginannya terlaksana.
Jika
sampai terlambat, anak tetap harus berangkat ke sekolah kalau perlu
ditemani/diantar orangtua. Demikian juga jika sesampai di sekolah anak minta
pulang, maka orangtua harus tegas dan bekerja sama dengan pihak guru untuk
menenangkan anak agar akhirnya anak merasa nyaman kembali. Jika anak
menjerit, menangis, marah-marah atau bertingkah laku aneh-aneh lainnya,
orangtua hendaknya sabar. Ajaklah anak ke tempat yang tenang dan bicaralah
baik-baik hingga kecemasan dan ketakutannya berkurang/hilang, dan sesudah itu
bawalah anak kembali ke kelasnya. Situasi ini dialami secara berbeda
antara satuorang dengan yang lain, tergantung dari kemampuan orangtua
menenangkan dan mendekatkan diri pada anak. Namun jika orangtua mengalami
kesulitan dalam menghadapi sikap anaknya, mintalah bantuan pada guru atau
sesama orangtua murid lainnya yang dikenal cukup dekat oleh anak. Terkadang, keberadaan
mereka justru membuat anak lebih bisa mengendalikan diri.
c.
Konsultasikan
masalah kesehatan anak pada dokter
Jika
orangtua tidak yakin akan kesehatan anak, bawalah segera ke dokter untuk
mendapatkan kepastian tentang ada/tidaknya problem kesehatan anak. orangtua
tentu lebih peka terhadap keadaan anaknya setiap hari; perubahan sekecil
apapun biasanya akan mudah dideteksi orangtua. Jadi, ketika anak
mengeluhkan sesuatu pada tubuhnya (pusing, mual, dsb.), orangtua dapat
membawanya ke dokter yang buka praktek di pagi hari agar setelah itu
anak tetap dapat kembali ke sekolah. Selain itu, dokter pun dapat
membantu orangtua memberikan diagnosa, apakah keluhan anak merupakan pertanda
dari adanya stres terhadap sekolah, ataukah karena penyakit lainnya yang
perlu ditangani secara seksama.
d.
Bekerjasama
dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah
Pada
umumnya para guru sudah biasa menangani masalah fobia sekolah atau pun school refusal (terutama
guru-guru pre-school hingga TK). Hampir setiap musim sekolah tiba, ada
saja murid yang mogok sekolah atau menangis terus tidak mau ditinggal
orangtuanya atau bahkan minta pulang. Orangtua bisa minta bantuan pihak guru
atau pun school assistant untuk
menenangkan anak dengan cara-cara seperti membawanya ke perpustakaan, mengajak anak
beristirahat sejenak di tempat yang tenang, atau pada anak yang lebih
besar, guru dapat mendiskusikan masalah yang sedang memberati anak.
Guru yang bijaksana, tentu bersedia memberikan perhatian ekstra terhadap
anak yang mogok untuk mengembalikan kestabilan emosi sambil membantu anak
mengatasi persoalan yang dihadapi-yang membuatnya cemas, gelisah dan takut.
Selain itu, berdiskusi dengan guru untuk meneliti faktor penyebab di sekolah
(misalnya diejek teman, dipukul, dsb) adalah langkah yang bermanfaat
dalam upaya memahami situasi yang biasa dihadapi anak setiap hari.
e.
Luangkan
waktu untuk berdiskusi/berbicara dengan anak
Luangkan
waktu yang intensif dan tidak tergesa-gesa untuk dapat mendiskusikan
apa yang membuat anak takut, cemas atau enggan pergi ke sekolah. Hindarkan
sikap mendesak atau bahkan tidak mempercayai kata-kata anak. Cara ini hanya
akan membuat anak makin tertutup pada orangtua hingga masalahnya tidak bisa
terbuka dan tuntas. Orangtua perlu menyatakan kesediaan untuk mendampingi dan
membantu anak mengatasi kecemasannya terhadap sesuatu, termasuk jika
masalah bersumber dari dalam rumah tangga sendiri. Orangtua perlu introspeksi
diri dan kalau perlu merubah sikap demi memperbaiki keadaan dalam rumah tangga.
Orangtua pun dapat mengajarkan cara-cara atau strategi yang bisa anak gunakan
dalam menghadapi situasi yang menakutkannya. Lebih baik membekali
anak dengan strategi pemecahan masalah daripada mendorongnya untuk menghindari
masalah, karena anak akan makin tergantung pada orang tua, makin tidak percaya
diri, makin penakut, dan tidak termotivasi untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
f.
Lepaskan
anak secara bertahap
Pengalaman
pertama bersekolah tentu mendatangkan kecemasan bagi anak, terlebih karena ia harus
berada di lingkungan baru yang masih asing baginya dan tidak dapat ia
kendalikan sebagaimana di rumah. Tidak heran banyak anak menangis sampai
menjerit-jerit ketika diantar ibunya ke sekolah. Pada kasus seperti ini,
orangtua perlu memberikan kesempatan pada anak menyesuaikan diri dengan
lingkungan barunya. Pada beberapa sekolah, orangtua/pengasuh diperbolehkan
berada di dalam kelas hingga 1-2 minggu atau sampai batas waktu yang telah
ditentukan pihak sekolah. Lepaskan anak secara bertahap, misalnya pada
hari-hari pertama, orangtua berada di dalam kelas dan lama kelamaan bergeser
sedikit-demi sedikit di luar kelas namun masih dalam jangkauan penglihatan
anak. Jika anak sudah bisa merasa nyaman dengan lingkungan baru dan tampak “happy” dengan teman-temannya maka sudah waktunya
bagi orangtua untuk meninggalkannya di kelas dan sudah waktunya pula bagi orangtua
untuk tidak lagi bersikap overprotective,
demi menumbuhkan rasa percaya diri pada anak dan kemandirian.
g.
Konsultasikan
pada psikolog/konselor jika masalah terjadi berlarut-larut
Jika
anak tidak dapat mengatasi fobia sekolahnya hingga jangka waktu yang panjang,
hal ini menandakan adanya problem psikologis yang perlu ditangani secara
proporsional oleh ahlinya. Apalagi, jika fobia sekolah ini sampai
mengakibatkan anak ketinggalan pelajaran prestasinya menurun dan hambatan
penyesuaian diri yang serius maka secepat mungkin persoalan ini segera
dituntaskan. Psikolog/konselor akan membantu menemukan pokok persoalan yang
mendasari ketakutan, kecemasan anak, sekaligus menemukan elemen lain yang tidak
terpikirkan oleh keluarga, namun justru timbul dari dalam keluarga sendiri
(misalnya takut dapat nilai jelek karena takut dimarahi oleh ayahnya). Untuk
itulah konselor/psikolog umumnya menghendaki keterlibatan secara aktif
dari pihak orangtua dalam menangani masalah yang dihadapi anaknya.
Jadi,
orangtua pun harus belajar mengenali siapa dirinya dan menilai bagaimana
perannya sebagai orangtua melalui masalah-masalah yang timbul dalam diri anak. Jadi,
persoalan mogok sekolah seyogyanya bukanlah masalah yang serius (kecuali ada masalah
kesehatan serius). Namun jika dibiarkan berlarut-larut dapat benar-benar
menjadi masalah serius.
American Academy of Child and Adolescent Psychiatry
(2004). Children who won′t go to school. Fact Sheets For Families, 7.
Burke, A. E., & Silverman, W. K. (1987). The
prescriptive treatment of schoolrefusal. Clinical
Psychology Review, 7, 353-62.
Data Heyne, D. (2006). School refusal. Pada J. E.
Fisher & W. O'Donohue (Eds.).
Durand, V. Mark & Barlow, David
H. 2006. Intisari Psikologi Abnormal,
Jilid Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Egger, H. L., Costello, E. J. & Angold, A.
(2003). Refusal and Psychiatric Disorders:A Community Study. PSYCH. Journal of the American Academy of Child
& Adolescent Psychiatry: 42, 797-807.
Jahja, Yudrik. 2011. Psikologi
Perkembangan. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta
Practitioner′s
guidelines for evidence based psychotherapy.New York: Kluwer.
0 Responses to "Gangguan Kecemasan (Phobia)":
Posting Komentar