Perkembangan moral menurut Piaget
Piaget merupakan
salah satu tokoh pada psikologi perkembangan. Beberapa teori yang berkaitan
mengenai perkembangan yaitu salah satunya adalah teori moral. Piaget meneliti
anak-anak yang sementara bemain kelereng, dia mengamati bagaimana anak-anak
tersebut mengunakan dan memilikrkan aturan-aturan daam bermain. Dia
menyimpulkan anak-anak berfikir dengan dua fase yang jelas berbeda tentang
moralitas sesuai dengan perkembangan kedewasaan masing-masing anak.
Fase
pertama adalah Heteronomous Morality, ialah tahap pertama perkembangan moral
yang terjadi pada anak di umur sekitar 4 s/d 7 tahun. Pada fase ini, keadilan
dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh
berubah yang lepas dari kendali manusia. Fase kedua adalah Autonomous Morality,
ialah tahap kedua perkembangan moral yang diperlihatkan oleh anak-anak yang
lebih tua (sekitar umur 10 s/d lebih). Anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan
dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan seseroang
harus mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya.
Anak-anak berusia 7 s/d 10 tahun berada dalam masa transisi yang berada pada
kedua fase tersebut.
Anak-anak yag
berada pada fase pertama yaitu Heteronomous
Morality, berfikir bahwa aturan tidak boleh diubah dan digugurkan oleh
semua otoritas yang berkuasa. Sedangkan pada anak-anak yang sudah lebih dewasa
atau sudah pada fase selanjutnya (Autonomous
Morality), mereka menerima perubahan dan mengakui bahwa aturan-aturan
hanyalah masalah kenyamanan, perjanjian-perjajian yang sudah disetujui secara
sosial, tunduk pada peraturan-peraturan menurut kesepakatan. Pemikir Heteronomous Morality juga yakin akan
keadilan yang immanen, yakni konsep yang menjelaskan bila suatu aturan
dilanggar, hukuman akan dikenakan sesegera mungkin. Sedangkan pada anak-anak
yang lebih tua sudah terdapat beberapa pertimbangan lainnya sehingga tidak
serta merta hukuman dapat langsung diberikan.
Menurut Piaget,
seraya anak berkembang, anak-anak pula akan semakin canggih dalam berfikir dan
permasalahan-permasalahan sosial lainnya, khususnya tentang
kemungkinan-kemungkinan dan kondisi-kondisi kerjasama. Piaget yakin bahwa
pemahaman sosial ini terjadi melalui relasi-relasi teman sebaya yang saling
memberi dan menerima. Dalam kelompok teman sebaya dimana semua anggota memiliki
kekuasaan dan status yang sama, rencana-rencana dirundingkan dan
dkoordinasikan, dan ketidaksetujuan diungkapkan dan pada akhirnya disepakati.
Relasi orang tua anak, dimana orang tua memiliki kekuasaan sedangkan anak
tidak, tampaknya kurang mengembangkan pemikiran moral, karena aturan selalu
diteruskan dengan cara yang otoriter.
2. Perkembangan moral menurut Kohlberg
Lawrence Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral
didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap.
Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang
unik dengan anak-anak.
Dalam wawancara, anak-anak diberikan serangkaian cerita
dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Bagaimana anak-anak dalam
penyikapi setiap cerita yang dilakukan oleh masing-masing tokoh dalam cerita
yang disampaikan oleh kohlberg. Berikut ini adalah salah satu cerita dilema Kohlberg
yang paling populer dalam buku Life Span Development oleh John W. Santrok pada
tahun 2002:
Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis
kanker khusus. Ada suatu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat
tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang
apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang
apoteker menetapkan harganya sepuluh kali lipat lebih mahal dari pembuatan obat
tersebut. Untuk pembuatan satu dosis kecil obat ia membayar 200 dolar dan
menjualnya 2000 dolar. Suami pasien perempuan, Heinz, pergi ke setiap orang
yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya bisa mengumpulkan 1000 dolar
atau hanya setengah dari harga obat tersebut. Ia memberitahu apoteker bahwa
istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih
murah atau memperbolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang
apoteker berkata, “Tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang
dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri
obat bagi istrinya.
Cerita ini adalah salah satu dari sebelas cerita yang
dikembangkan oleh Kohlberg untuk menginvestigasi hakekat pemikiran moral.
Setelah membaca cerita, anak-anak menjadi responden menjawab serangkaian
pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri
obat tersebut benar atau salah? Mengapa? Apakah tugas suami untuk mencuri obat
bagi istrinya kalau ia tidak mendapatkannya dengan cara lain? Apakah apoteker memiliki
hak untuk mengenakan harga semahal itu
walaupun tidak ada suatu aturan hukum yang membatasi harga? Mengapa atau
mengapa tidak?
Berdasarkan penalaran di atas kohlberg kemudian merumuskan
tiga tingkat perkembangan moral, yang masing-masing tahap ditandai oleh dua
tahap. Konsep kunci dari teori Kohlberg, ialah internalisasi, yakni perubahan
perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku
yang dikendalikan secara internal.
Tingkat Satu: Penalaran Prakonvensional
Penalaran prakonvensional adalah tingkat yang paling rendah
dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak
memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral dikendalikan
oleh imbalan (hadiah) dan hukuman ekternal.
Tahap 1 : Orientasi hukuman dan ketaatan ialah tahap pertama
dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini perkembangan moral
didasarkan atas hukuman. Anak-anak mematuhi peraturan untuk
menghindari hukuman, mereka taat karena orang-orang dewasa menuntut
mereka untuk taat.Orang tua berperan penting dalam
pembentukan moralitas pada tahap ini.
Tahap 2: Tujuan dan pertukaran instrumental. Pada tahap ini
penalaran moral didasarkan pada imbalan dan kepentingan diri sendiri. Anak-anak
taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik
adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang
dianggap menghasilkan hadiah. Penyesuaian anak-anak terhadap
hukum di luar kepentingan diri dan pertimbangan apa yang dapat dilakukan orang
lain kepadanya. Tindakan mulai dipahami sebagai sebuah kebutuhan manusia
perlahan-lahan dipenuhinya dan membedakan nilai dari tindakan bentuk fisik
serta konsekuensinya.
Tingkat Dua: Penalaran Konvensional
Penalaran konvensional adalah tingkat kedua atau tingkat
menengah dari teori perkembangan moral Kohlberg. Internalisasi individu pada
tahap ini adalah menengah. Seorang mentaati standar-standar (internal)
tertentu, tetapi mereka tidak mentaati standar-standar (internal) orang lain,
seperti orangtua atau masyarakat.
Tahap 1: “Apakah saya seorang anak laki-laki
atau perempuan yang baik?” Norma-norma interpersonal, pada
tahap ini seseorang menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan pada orang
lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak anak sering
mengadopsi standar-standar moral orangtuanya pada tahap ini, sambil mengharapkan
dihargai oleh orangtuanya sebagai seorang perempuan yang baik atau laki-laki
yang baik.Tindakan mereka mulai dievaluasi secara pribadi
berdasarkan motif di baliknya atau orang yang melakukannya, dan mereka
memasukkan situasi ke dalam pertimbangan.
Tahap 2: Moralitas sistem sosial. Pada tahap ini,
pertimbangan moral didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum,
keadilan, dan kewajiban.“Bagaimana kalau semua orang
melakukan hal itu?” orang-orang menaruh perhatian terhadap pelaksanaan
kewajiban mereka dan mempertahankan tatanan sosial. Mereka menganggap sebuah
tindakan selalu salah, terlepas dari motif atau situasi yang ada, jika tindakan
tersebut melanggar peraturan dan menyakiti orang lain.
Tingkat Tiga: Penalaran Pascakonvensional
Penalaran pascakonvensional adalah tingkat tertinggi dari
teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, moralitas benar-benar
diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain.
Seorang mengenal tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan
kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi.
Tahap 1: Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual, pada
tahap ini seseorang mengalami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan adalah
bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain.
Seseorang menyadari hukum penting bagi masyarakat, tetapi nilai-nilai seperti
kebebasan lebih penting dari pada hukum. Ketika mereka
menyadari pada suatu saat akan ada konflik antara kebutuhan manusia dan hukum,
mereka peracaya akan lebih baik bagi masyarakat dalam jangka panjang untuk
mematuhi hukum.
Tahap 2: Prinsip-prinsip etis universal, pada tahap ini
seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak
manusia yang universal. Bila menghadapi konflik secara hukum dan suara hati,
seseorang akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin melibatkan
resiko pribadi. Mereka bertindak sesuai dengan
standar internal, dengan pengetahuan mereka, akan menyalahkan diri mereka
sendiri jika tidak melakukannya.
Dikemudian hari, Kohlberg menambahkan level
transisional antara konvensional dan pascakonvensional. Ketika seseorang tidak
lagi merasa terikat dengan standar moral masyarakat tetapi belum dapat memenuhi
prinsip keadilan mereka sendiri, mereka mendasari keputusan moral mereka kepada
perasaan pribadi.
3. Faktor-faktor
yang mempengaruhi Perkembangan Moral
Menurut teori Kohlberg, perkembangan
moral anak-anak dan remaja sejalan dengan perkembangan kognitifnya sesuai
dengan penambahan usia mereka. Moralitas mereka berkembang ketika egosentrisme
ditekan dan semakin cakap dalam pemikiran abstrak. Seiring dengan pengalaman
baru yang dialami oleh anak-anak dan remaja, penalaran moral mereka semakin
berkembang sesuai dengan tahapan yang telah dikemukakan oleh Kohlberg.
Penalaran moral yang tinggi sebagai respon terhadap sebuah kasus berhubungan
dengan hukum moral dan nilai-nilai kemanusiaan. Moralitas ini diperoleh melalui
refleksi terhadap ide-ide abstrak untuk mempertegas teori yang dikembangkan
oleh Kohlberg bahwa perkembangan moral bergantung pada perkembangan kognitif.
Meski demikian, perkembangan kognitif bukanlah syarat mutlak perkembangan
moral.
Dalam teori selanjutnya, Kohlberg
berpendapat bahwa moralitas anak-anak berkembang ketika mereka menghadapi suatu dilema yang tidak dapat ditangani
secara memadai dengan tingkatan moralnya pada saat itu. Meski demikian,
psikolog kontemporer sesudah Kohlberg menolak ide-idenya mengenai perkembangan
moral ini.
4. Perkembangan
moral pada orang dewasa
Pada masa dewasa, penilaian moral
seringkali menjadi lebih kompleks. Banyak pertimbangan yang digunakan untuk
memberi penilaian terhadap suatu kasus. Umumnya orang dewasa sudah bisa
mencapai tahap penalaran post-konvensional dan berprinsip penuh di mana
sebagian besarnya diperoleh dari pengalaman. Meski kesadaran kognitif terhadap
prinsip moral tingkat tinggi seringkali berkembang pada masa remaja, namun
konkretisasi dari pengetahuan moral tersebut lebih banyak diterapkan pada masa
dewasa. Persoalan yang dihadapi pada masa dewasa awal adalah nilai yang
bertentangan dengan apa yang diyakini pada masa remaja. Pengalaman mungkin akan
mengarahkan orang dewasa untuk mengevaluasi kembali criteria mereka tentang konsep kebenaran dan
kesalahan. Dengan demikian, berkenaan dengan penilaian moral, tahapan kognitif
bukanlah segalanya. Seseorang yang pemikirannya masih egosentris memiliki kecenderungan
yang lebih kecil untuk membuat keputusan moral pada level post-konvensional;
akan tetapi bahkan seseorang yang berpikir secara abstrak bisa jadi tidak
mencapai level tertinggi perkembangan moral kecuali perkembangannya menyatu
dengan kognisinya. Secara lebih konkret, orang dewasa yang lebih egosentris,
menjadikan dirinya sebagai rujukan dan pusat kebenaran cukup sulit untuk keluar
dari tataran moral konvensional. Secara lebih jauh, interpretasi ini bisa
ditemukan dalam kontek kultur sebuah peradaban.
4. Kultur dan Perkembangan
Moral
Setiap peradaban memiliki
norma dan tata aturan yang mengikat setiap individu dalam kehidupan
bermasyarakat. Kultur dari setiap peradaban mengindikasikan perspektif
masing-masing terhadap nilai moral yang berkembang. Dilema moral Kohlberg kadang-kadang
tidak seleras dengan kultur sebuah peradaban.
Meski demikian, kita perlu hati-hati untuk membuat generalisasi
berlebihan terhadap sikap cultural. Konsep keadilan, kebenaran, kesejahteraan
eksis dalam setiap budaya meski dalam aplikasinya tentu tidak sama.
5. Tahap Ketujuh
Di usia senjanya,
Kohlberg mengemukakan lagi tahap ketujuh
dari teorinya tentang perkembangan moral. Tahap ketujuh ini bergerak melampaui
keadilan dan lebih mirip dengan konsep transenden diri dalam tradisi Timur.Pada
tahap ketujuh, orang dewasa berusaha untuk menjawab pertanyaan “mengapa harus
bermoral?” Menurut Kohlberg, jawabannya terdapat pada pencapaian perspektif
kosmis “perasaan menyatu dengan kosmos, alam, atau Tuhan” yang memungkinkan
seseorang melihat isu moral “dari sudut pandang dunia sebagai satu kesatuan
yang utuh.” Ketika merasa disatukan dengan alam semesta, seseorang bisa
menyaksikan bahwa setiap tindakannya memiliki efek pada semua hal dan orang
lain dan konsekuensinya kembali pada subjek yang bertindak. Pencapaian tersebut
sangat sulit sehingga Kohlberg sendiri ragu menyebutnya sebagai tahap
perkembangan, dan hanya ada sedikit penelitian tentang hal itu.
6. Gender dan Perkembangan
moral
Sampel yang diambil oleh
Kohlberg dalam penelitiannya adalah anak laki-laki.Karena itu Carol Gilligan
berpendapat bahwa sistem Kohlberg memberikan tempat terhadap nilai maskulin
ketimbang feminim.Kohlberg mengabaikan kasih sayang, tanggung jawab dan
perhatian yang cenderung dimiliki oleh kaum hawa. Menurut Gilligan, inti dilema
moral wanita adalah konflik antara kebutuhannya sendiri dan kebutuhan orang
lain. Hal ini menandakan bahwa perempuan tidak egois, ia tidak hanya memikirkan
dirinya sendiri tetapi juga memikirkan keberadaan orang lain. Perempuan lebih
sedikit berpikir tentang keadilan abstrak dan kejujuran dibandingkan yang
dilakukan oleh pria yang lebih banyak berpikir tentang tanggung jawabnya
terhadap orang tertentu saja.
Pada level paling dasar,
perempuan memiliki orientasi untuk bertahan hidup secara individual. Di mana
perempuan berorientasi pada dirinya sendiri –apa yang praktis dan terbaik untuk
dirinya. Pada level ini, moralitas mengalami transisi dari egois kepada tanggung
jawab. Kesadaran akan hubungannya dengan orang lain mulai terbentuk dan mulai
berpikir tentang kerangka tanggung jawab dalam relasinya dengan orang lain
(termasuk dengan janin yang dikandungnya). Setelah transisi tahap pertama ini,
kemudian perempuan mulai beralih ke level berikutnya.Kebaikan adalah
pengorbanan diri. Perempuan mengorbankan keinginannya demi keinginan orang
lain. Dia menganggap bahwa dirinya
bertanggung jawab terhadap tindakan orang lain.
Transisi tahap berikutnya
adalah dari kebaikan kepada kebenaran. Perempuan menilai bahwa keputusannya
tidak berdasarkan bagaimana orang lain akan bereaksi terhadap dirinya tapi
berdasarkan keinginannya dan konsekuensi dari tindakannya. Dia ingin menjadi
lebih baik dengan bertanggung jawab terhadap orang lain, tetapi juga ingin
menjadi jujur dengan bertanggung jawab terhadap diri sendiri.
Pada level ketiga, moralitas
kaum perempuan bersifat non-kekerasan. Dengan tidak menyakiti orang lain
(termasuk dirinya sendiri) menjadi prinsip yang mengatur semua penilaian moral
dan tindakan, seorang perempuan membangun “ekualitas moral” antara dirinya dan
orang lain kemudian menjadi mampu memperirakan tanggung jawab pilihan dalam
sebuah dilemma moral.
Dalam beberapa studi, pria
mendapat poin yang lebih tinggi temuan di atas secara jelas tidak berkaitan
dengan gender karena biasanya para pria lebih berpendidikan dan memiliki
pekerjaan yang lebih baik dibandingkan dengan perempuan.Pada riset selanjutnya,
Gilligan telah mendeskripsikan perkembangan moral pada pria dan wanita sebagai
perkembangan yang berevolusi melampaui penalaran abstrak. Gilligan dan beberapa
koleganya menemukan bahwa banyak orang di usia 20-an menjadi tidak puas dengan
logika moral. Karena itu tampaknya apabila “suara yang berbeda” dalam riset Gilligan
sebelum merefleksikan sistem nilai alternatif, maka hal tersebut tidak
berdasarkan gender.
7. Mengevaluasi teori moral
Kohlberg
Teoritisi ini membawa
perubahan yang cukup besar dalam cara pandang manusia terhadap perkembangan
moral. Sumbangsih besar mereka membantu orang untuk melihat moralitas tidak
hanya sebagai pencapaian kontrol terhadap dorongan keinginan yang terus
meningkat, tetapi lebih jauh lagi bagaimana cara anak-anak membuat penilaian
moral berdasarkan tingkat pemahaman mereka terhadap dunia sosial yang
melibatkan mereka.
Riset telah mendukung
beberapa aspek teori Kohlberg, namun ada yang meninggalkan teorinya begitu saja
dengan tanda tanya. Studi di Amerika berbeda dengan studi di Kanada dengan
pendasaran teori Kohlberg terhadap perkembangan moral anak-anak. Di Amerika,
tahapan-tahapan yang diajukan oleh Kohlberg nyata sesuai dengan tahap demi
tahap. Tetapi di Kanada ada beberapa loncatan yang tidak sesuai. Di mana
penalaran terhadap hukum menunjukkan bahwa anak-anak menilainya secara
fleksibel pada usia yang lebih muda seperti yang dikemukakan oleh Peaget dan
Kohlberg.
Kritik mengenai pendekatan
kognitif terhadap penalaran moral kurang memberikan perhatian terhadap nilai
penting emosi. Ativitas moral tidak hanya dimotivasi oleh penalaran abstrak
seperti keadilan, tetapi juga oleh emosi seperti empati, rasa bersalah, rasa
sedih dan internalisasi norma proposional.
a.
Pengaruh
keluarga
Piaget
maupun Kohlberg menganggap bahwa orang tua kurang berperan dalam pertumbuhan
moral anak.Akan tetapi riset paling anyar menekankan kontribusi paling besar
berasal dari orang tua terhadap aspek kognitif dan emosional.
b.
Validitas bagi
Perempuan dan anak perempuan
Carol Gilligan (1982)
berpendapat bahwa teori Kohlberg lebih mementingkan peran laki-laki. Menurut
Gilligan, wanita tidak terlalu banyak memandang moralitas dalam kerangka
keadilan dan kesetaraan tetapi lebih kepada tanggung jawab untuk menunjukkan
kasih sayang dan menghindari hal yang membahayakan. Anak perempuan di awal masa
remaja memang cenderung menekankan pada perhatian yang berkaitan dengan
pertanya terbuka: “Seberapa pentingkah menepati janji terhadap teman?” dan
dilema moral yang dipilihnya sendiri terkait dengan pengalaman mereka.
0 Responses to "Teori Perkembangan Moral":
Posting Komentar