Teori Perkembangan Moral

Posted on Sabtu, 27 Oktober 2012 by Unknown


Perkembangan  moral menurut Piaget
Piaget merupakan salah satu tokoh pada psikologi perkembangan. Beberapa teori yang berkaitan mengenai perkembangan yaitu salah satunya adalah teori moral. Piaget meneliti anak-anak yang sementara bemain kelereng, dia mengamati bagaimana anak-anak tersebut mengunakan dan memilikrkan aturan-aturan daam bermain. Dia menyimpulkan anak-anak berfikir dengan dua fase yang jelas berbeda tentang moralitas sesuai dengan perkembangan kedewasaan masing-masing anak.
Fase pertama adalah Heteronomous Morality, ialah tahap pertama perkembangan moral yang terjadi pada anak di umur sekitar 4 s/d 7 tahun. Pada fase ini, keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah yang lepas dari kendali manusia. Fase kedua adalah Autonomous Morality, ialah tahap kedua perkembangan moral yang diperlihatkan oleh anak-anak yang lebih tua (sekitar umur 10 s/d lebih). Anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan seseroang harus mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya. Anak-anak berusia 7 s/d 10 tahun berada dalam masa transisi yang berada pada kedua fase tersebut.

Anak-anak yag berada pada fase pertama yaitu Heteronomous Morality, berfikir bahwa aturan tidak boleh diubah dan digugurkan oleh semua otoritas yang berkuasa. Sedangkan pada anak-anak yang sudah lebih dewasa atau sudah pada fase selanjutnya (Autonomous Morality), mereka menerima perubahan dan mengakui bahwa aturan-aturan hanyalah masalah kenyamanan, perjanjian-perjajian yang sudah disetujui secara sosial, tunduk pada peraturan-peraturan menurut kesepakatan. Pemikir Heteronomous Morality juga yakin akan keadilan yang immanen, yakni konsep yang menjelaskan bila suatu aturan dilanggar, hukuman akan dikenakan sesegera mungkin. Sedangkan pada anak-anak yang lebih tua sudah terdapat beberapa pertimbangan lainnya sehingga tidak serta merta hukuman dapat langsung diberikan.

Menurut Piaget, seraya anak berkembang, anak-anak pula akan semakin canggih dalam berfikir dan permasalahan-permasalahan sosial lainnya, khususnya tentang kemungkinan-kemungkinan dan kondisi-kondisi kerjasama. Piaget yakin bahwa pemahaman sosial ini terjadi melalui relasi-relasi teman sebaya yang saling memberi dan menerima. Dalam kelompok teman sebaya dimana semua anggota memiliki kekuasaan dan status yang sama, rencana-rencana dirundingkan dan dkoordinasikan, dan ketidaksetujuan diungkapkan dan pada akhirnya disepakati. Relasi orang tua anak, dimana orang tua memiliki kekuasaan sedangkan anak tidak, tampaknya kurang mengembangkan pemikiran moral, karena aturan selalu diteruskan dengan cara yang otoriter.

2. Perkembangan  moral menurut Kohlberg
Lawrence Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak.
Dalam wawancara, anak-anak diberikan serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Bagaimana anak-anak dalam penyikapi setiap cerita yang dilakukan oleh masing-masing tokoh dalam cerita yang disampaikan oleh kohlberg. Berikut ini adalah salah satu cerita dilema Kohlberg yang paling populer dalam buku Life Span Development oleh John W. Santrok pada tahun 2002:
Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada suatu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya sepuluh kali lipat lebih mahal dari pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan satu dosis kecil obat ia membayar 200 dolar dan menjualnya 2000 dolar. Suami pasien perempuan, Heinz, pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya bisa mengumpulkan 1000 dolar atau hanya setengah dari harga obat tersebut. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau memperbolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata, “Tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.
Cerita ini adalah salah satu dari sebelas cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah? Mengapa? Apakah tugas suami untuk mencuri obat bagi istrinya kalau ia tidak mendapatkannya dengan cara lain? Apakah apoteker memiliki hak  untuk mengenakan harga semahal itu walaupun tidak ada suatu aturan hukum yang membatasi harga? Mengapa atau mengapa tidak?
Berdasarkan penalaran di atas kohlberg kemudian merumuskan tiga tingkat perkembangan moral, yang masing-masing tahap ditandai oleh dua tahap. Konsep kunci dari teori Kohlberg, ialah internalisasi, yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Tingkat Satu: Penalaran Prakonvensional
Penalaran prakonvensional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman ekternal.
Tahap 1 : Orientasi hukuman dan ketaatan ialah tahap pertama dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini perkembangan moral didasarkan atas hukuman. Anak-anak mematuhi peraturan untuk menghindari hukuman, mereka taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat.Orang tua berperan penting dalam pembentukan moralitas pada tahap ini.
Tahap 2: Tujuan dan pertukaran instrumental. Pada tahap ini penalaran moral didasarkan pada imbalan dan kepentingan diri sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah. Penyesuaian anak-anak terhadap hukum di luar kepentingan diri dan pertimbangan apa yang dapat dilakukan orang lain kepadanya. Tindakan mulai dipahami sebagai sebuah kebutuhan manusia perlahan-lahan dipenuhinya dan membedakan nilai dari tindakan bentuk fisik serta konsekuensinya.
Tingkat Dua: Penalaran Konvensional
Penalaran konvensional adalah tingkat kedua atau tingkat menengah dari teori perkembangan moral Kohlberg. Internalisasi individu pada tahap ini adalah menengah. Seorang mentaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak mentaati standar-standar (internal) orang lain, seperti orangtua atau masyarakat.
Tahap 1: “Apakah saya seorang anak laki-laki atau perempuan yang baik?” Norma-norma interpersonal, pada tahap ini seseorang menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan pada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak anak sering mengadopsi standar-standar moral orangtuanya pada tahap ini, sambil mengharapkan dihargai oleh orangtuanya sebagai seorang perempuan yang baik atau laki-laki yang baik.Tindakan mereka mulai dievaluasi secara pribadi berdasarkan motif di baliknya atau orang yang melakukannya, dan mereka memasukkan situasi ke dalam pertimbangan.
Tahap 2: Moralitas sistem sosial. Pada tahap ini, pertimbangan moral didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.“Bagaimana kalau semua orang melakukan hal itu?” orang-orang menaruh perhatian terhadap pelaksanaan kewajiban mereka dan mempertahankan tatanan sosial. Mereka menganggap sebuah tindakan selalu salah, terlepas dari motif atau situasi yang ada, jika tindakan tersebut melanggar peraturan dan menyakiti orang lain.
Tingkat Tiga: Penalaran Pascakonvensional
Penalaran pascakonvensional adalah tingkat tertinggi dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seorang mengenal tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi.
Tahap 1: Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual, pada tahap ini seseorang mengalami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain. Seseorang menyadari hukum penting bagi masyarakat, tetapi nilai-nilai seperti kebebasan lebih penting dari pada hukum. Ketika mereka menyadari pada suatu saat akan ada konflik antara kebutuhan manusia dan hukum, mereka peracaya akan lebih baik bagi masyarakat dalam jangka panjang untuk mematuhi hukum.
Tahap 2: Prinsip-prinsip etis universal, pada tahap ini seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia yang universal. Bila menghadapi konflik secara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin melibatkan resiko pribadi. Mereka bertindak sesuai dengan standar internal, dengan pengetahuan mereka, akan menyalahkan diri mereka sendiri jika tidak melakukannya.
Dikemudian hari, Kohlberg menambahkan level transisional antara konvensional dan pascakonvensional. Ketika seseorang tidak lagi merasa terikat dengan standar moral masyarakat tetapi belum dapat memenuhi prinsip keadilan mereka sendiri, mereka mendasari keputusan moral mereka kepada perasaan pribadi.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perkembangan Moral
Menurut teori Kohlberg, perkembangan moral anak-anak dan remaja sejalan dengan perkembangan kognitifnya sesuai dengan penambahan usia mereka. Moralitas mereka berkembang ketika egosentrisme ditekan dan semakin cakap dalam pemikiran abstrak. Seiring dengan pengalaman baru yang dialami oleh anak-anak dan remaja, penalaran moral mereka semakin berkembang sesuai dengan tahapan yang telah dikemukakan oleh Kohlberg. Penalaran moral yang tinggi sebagai respon terhadap sebuah kasus berhubungan dengan hukum moral dan nilai-nilai kemanusiaan. Moralitas ini diperoleh melalui refleksi terhadap ide-ide abstrak untuk mempertegas teori yang dikembangkan oleh Kohlberg bahwa perkembangan moral bergantung pada perkembangan kognitif. Meski demikian, perkembangan kognitif bukanlah syarat mutlak perkembangan moral.
Dalam teori selanjutnya, Kohlberg berpendapat bahwa moralitas anak-anak berkembang ketika mereka menghadapi  suatu dilema yang tidak dapat ditangani secara memadai dengan tingkatan moralnya pada saat itu. Meski demikian, psikolog kontemporer sesudah Kohlberg menolak ide-idenya mengenai perkembangan moral ini.
4. Perkembangan moral pada orang dewasa
Pada masa dewasa, penilaian moral seringkali menjadi lebih kompleks. Banyak pertimbangan yang digunakan untuk memberi penilaian terhadap suatu kasus. Umumnya orang dewasa sudah bisa mencapai tahap penalaran post-konvensional dan berprinsip penuh di mana sebagian besarnya diperoleh dari pengalaman. Meski kesadaran kognitif terhadap prinsip moral tingkat tinggi seringkali berkembang pada masa remaja, namun konkretisasi dari pengetahuan moral tersebut lebih banyak diterapkan pada masa dewasa. Persoalan yang dihadapi pada masa dewasa awal adalah nilai yang bertentangan dengan apa yang diyakini pada masa remaja. Pengalaman mungkin akan mengarahkan orang dewasa untuk mengevaluasi kembali criteria mereka tentang konsep kebenaran dan kesalahan. Dengan demikian, berkenaan dengan penilaian moral, tahapan kognitif bukanlah segalanya. Seseorang yang pemikirannya masih egosentris memiliki kecenderungan yang lebih kecil untuk membuat keputusan moral pada level post-konvensional; akan tetapi bahkan seseorang yang berpikir secara abstrak bisa jadi tidak mencapai level tertinggi perkembangan moral kecuali perkembangannya menyatu dengan kognisinya. Secara lebih konkret, orang dewasa yang lebih egosentris, menjadikan dirinya sebagai rujukan dan pusat kebenaran cukup sulit untuk keluar dari tataran moral konvensional. Secara lebih jauh, interpretasi ini bisa ditemukan dalam kontek kultur sebuah peradaban.
4. Kultur dan Perkembangan Moral
Setiap peradaban memiliki norma dan tata aturan yang mengikat setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat. Kultur dari setiap peradaban mengindikasikan perspektif masing-masing terhadap nilai moral yang berkembang. Dilema moral Kohlberg kadang-kadang tidak seleras dengan kultur sebuah peradaban.  Meski demikian, kita perlu hati-hati untuk membuat generalisasi berlebihan terhadap sikap cultural. Konsep keadilan, kebenaran, kesejahteraan eksis dalam setiap budaya meski dalam aplikasinya tentu tidak sama. 
5. Tahap Ketujuh
Di usia senjanya, Kohlberg  mengemukakan lagi tahap ketujuh dari teorinya tentang perkembangan moral. Tahap ketujuh ini bergerak melampaui keadilan dan lebih mirip dengan konsep transenden diri dalam tradisi Timur.Pada tahap ketujuh, orang dewasa berusaha untuk menjawab pertanyaan “mengapa harus bermoral?” Menurut Kohlberg, jawabannya terdapat pada pencapaian perspektif kosmis “perasaan menyatu dengan kosmos, alam, atau Tuhan” yang memungkinkan seseorang melihat isu moral “dari sudut pandang dunia sebagai satu kesatuan yang utuh.” Ketika merasa disatukan dengan alam semesta, seseorang bisa menyaksikan bahwa setiap tindakannya memiliki efek pada semua hal dan orang lain dan konsekuensinya kembali pada subjek yang bertindak. Pencapaian tersebut sangat sulit sehingga Kohlberg sendiri ragu menyebutnya sebagai tahap perkembangan, dan hanya ada sedikit penelitian tentang hal itu.
6. Gender dan Perkembangan moral
Sampel yang diambil oleh Kohlberg dalam penelitiannya adalah anak laki-laki.Karena itu Carol Gilligan berpendapat bahwa sistem Kohlberg memberikan tempat terhadap nilai maskulin ketimbang feminim.Kohlberg mengabaikan kasih sayang, tanggung jawab dan perhatian yang cenderung dimiliki oleh kaum hawa. Menurut Gilligan, inti dilema moral wanita adalah konflik antara kebutuhannya sendiri dan kebutuhan orang lain. Hal ini menandakan bahwa perempuan tidak egois, ia tidak hanya memikirkan dirinya sendiri tetapi juga memikirkan keberadaan orang lain. Perempuan lebih sedikit berpikir tentang keadilan abstrak dan kejujuran dibandingkan yang dilakukan oleh pria yang lebih banyak berpikir tentang tanggung jawabnya terhadap orang tertentu saja.
Pada level paling dasar, perempuan memiliki orientasi untuk bertahan hidup secara individual. Di mana perempuan berorientasi pada dirinya sendiri –apa yang praktis dan terbaik untuk dirinya. Pada level ini, moralitas mengalami transisi dari egois kepada tanggung jawab. Kesadaran akan hubungannya dengan orang lain mulai terbentuk dan mulai berpikir tentang kerangka tanggung jawab dalam relasinya dengan orang lain (termasuk dengan janin yang dikandungnya). Setelah transisi tahap pertama ini, kemudian perempuan mulai beralih ke level berikutnya.Kebaikan adalah pengorbanan diri. Perempuan mengorbankan keinginannya demi keinginan orang lain.  Dia menganggap bahwa dirinya bertanggung jawab terhadap tindakan orang lain.
Transisi tahap berikutnya adalah dari kebaikan kepada kebenaran. Perempuan menilai bahwa keputusannya tidak berdasarkan bagaimana orang lain akan bereaksi terhadap dirinya tapi berdasarkan keinginannya dan konsekuensi dari tindakannya. Dia ingin menjadi lebih baik dengan bertanggung jawab terhadap orang lain, tetapi juga ingin menjadi jujur dengan bertanggung jawab terhadap diri sendiri.
Pada level ketiga, moralitas kaum perempuan bersifat non-kekerasan. Dengan tidak menyakiti orang lain (termasuk dirinya sendiri) menjadi prinsip yang mengatur semua penilaian moral dan tindakan, seorang perempuan membangun “ekualitas moral” antara dirinya dan orang lain kemudian menjadi mampu memperirakan tanggung jawab pilihan dalam sebuah dilemma moral.
Dalam beberapa studi, pria mendapat poin yang lebih tinggi temuan di atas secara jelas tidak berkaitan dengan gender karena biasanya para pria lebih berpendidikan dan memiliki pekerjaan yang lebih baik dibandingkan dengan perempuan.Pada riset selanjutnya, Gilligan telah mendeskripsikan perkembangan moral pada pria dan wanita sebagai perkembangan yang berevolusi melampaui penalaran abstrak. Gilligan dan beberapa koleganya menemukan bahwa banyak orang di usia 20-an menjadi tidak puas dengan logika moral. Karena itu tampaknya apabila “suara yang berbeda” dalam riset Gilligan sebelum merefleksikan sistem nilai alternatif, maka hal tersebut tidak berdasarkan gender.
7. Mengevaluasi teori moral Kohlberg
Teoritisi ini membawa perubahan yang cukup besar dalam cara pandang manusia terhadap perkembangan moral. Sumbangsih besar mereka membantu orang untuk melihat moralitas tidak hanya sebagai pencapaian kontrol terhadap dorongan keinginan yang terus meningkat, tetapi lebih jauh lagi bagaimana cara anak-anak membuat penilaian moral berdasarkan tingkat pemahaman mereka terhadap dunia sosial yang melibatkan mereka.
Riset telah mendukung beberapa aspek teori Kohlberg, namun ada yang meninggalkan teorinya begitu saja dengan tanda tanya. Studi di Amerika berbeda dengan studi di Kanada dengan pendasaran teori Kohlberg terhadap perkembangan moral anak-anak. Di Amerika, tahapan-tahapan yang diajukan oleh Kohlberg nyata sesuai dengan tahap demi tahap. Tetapi di Kanada ada beberapa loncatan yang tidak sesuai. Di mana penalaran terhadap hukum menunjukkan bahwa anak-anak menilainya secara fleksibel pada usia yang lebih muda seperti yang dikemukakan oleh Peaget dan Kohlberg.
Kritik mengenai pendekatan kognitif terhadap penalaran moral kurang memberikan perhatian terhadap nilai penting emosi. Ativitas moral tidak hanya dimotivasi oleh penalaran abstrak seperti keadilan, tetapi juga oleh emosi seperti empati, rasa bersalah, rasa sedih dan internalisasi norma proposional.
a.       Pengaruh keluarga
Piaget maupun Kohlberg menganggap bahwa orang tua kurang berperan dalam pertumbuhan moral anak.Akan tetapi riset paling anyar menekankan kontribusi paling besar berasal dari orang tua terhadap aspek kognitif dan emosional.
b.      Validitas bagi Perempuan dan anak perempuan
Carol Gilligan (1982) berpendapat bahwa teori Kohlberg lebih mementingkan peran laki-laki. Menurut Gilligan, wanita tidak terlalu banyak memandang moralitas dalam kerangka keadilan dan kesetaraan tetapi lebih kepada tanggung jawab untuk menunjukkan kasih sayang dan menghindari hal yang membahayakan. Anak perempuan di awal masa remaja memang cenderung menekankan pada perhatian yang berkaitan dengan pertanya terbuka: “Seberapa pentingkah menepati janji terhadap teman?” dan dilema moral yang dipilihnya sendiri terkait dengan pengalaman mereka.

0 Responses to "Teori Perkembangan Moral":